Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Akhirnya, Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS) disahkan menjadi undang undang dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Semua fraksi di Senayan menyetujui setelah ada perubahan subtansi terutama di pasal pelibatan Tentara Nasional Indoesia (TNI) dalam penanganan konflik sosial. Sebelumnya, keberadaan pasal ini banyak menuai kritikan tak hanya dari legislator. Meski ada perubahan subtansi, Hendardi, Ketua SETARA Institute tetap menolak pengesahan RUU PKS, karena ada paradigma keliru yang dikembangkan dalam beleid ini.
Menurutnya, penanganan konflik dengan pendekatan keamanan terbukti gagal mengurai dan menyelesaikan konflik di berbagai wilayah. UU PKS justru meletakkan pendekatan keamanan sebagai yang utama. Pendekatan ini jelas sangat rentan terhadap pelanggaran HAM dan demokrasi. Konflik yang terjadi di Indonesia bukanlah disebabkan oleh faktor tunggal, karena itu tidak bisa melulu mengandalkan pendekatan keamanan sebagai jalan keluar.
“Yang paling membahayakan dari UU PKS ini adalah memperkuat peran TNI di tengah konflik yang jelas bukan domain TNI”. UU ini juga meletakkan TNI sebagai institusi yang supreme dari institusi Polri," katanya kepada KONTAN, Rabu (11/4).
Ia menjelaskan, alasan pelibatan TNI dalam penanganan konflik sosial sebagai bentuk perbantuan dan operasi militer selain perang, tidak cukup diatur dalam UU PKS. Pemerintah dan DPR harus terlebih dahulu membahas RUU Perbantuan Militer, sehingga ada batasan dan mekanisme yang tegas kapan dan dalam kondisi apa TNI dapat diperbantukan.
Hendardi melihat, Pemerintah dan DPR sengaja tidak pernah memprakarsai pembentukan RUU ini dan dengan sengaja menyusupkan peran-peran militer dalam berbagai peraturan perundang-undangan dengan dalih perbantuan militer. Menjadi pertanyaan, untuk kepentingan siapa RUU ini disusun, apakah ditujukan untuk melindungi kepentingan investor dan dunia usaha yang terus menerus akan mendapatkan perlawanan dari rakyat, akibat sengketa agraria yang belum tuntas?
Atau bentuk kepanikan negara dalam mengatasi berbagai konflik sosial di Tanah Air? Muara dari keberadaan UU PKS hampir sama dengan permasalahan pengajuan RUU Kamnas, yakni melemahkan supremasi sipil dan mengokohkan kembali supremasi negara dan aparatusnya, termasuk TNI.
Sebab itu, ketegangan antarinstitusi keamanan, baik di tingkat pusat dan daerah akan kembali terulang, seperti pada masa-masa awal pemisahan TNI dan Polri. "Polri harus berada di garda depan untuk menolak RUU ini," terangnya. Kata Hendardi, Indonesia lebih membutuhkan sebuah peraturan yang lebih komprehensif dengan pendekatan kesejahteraan dan keadilan bukan pendekatan militeristik. "Karakteristik konflik sosial yang berbeda-beda, menuntut penyikapan yang berbeda pula," katanya.
UU PKS, sebut dia, bukanlah jawaban atas berbagai dinamika dan ketegangan sosial yang terus terjadi. Dalam mengatasi konflik, yang pertama dan utama adalah mengubah berbagai regulasi dan kebijakan yang justru melahirkan konflik. Tanpa penanganan di sektor penyebab terjadinya konflik, maka RUU PKS hanya akan menjadi instrumen yang melegitimasi tindakan represif atas ketegangan sosial, yang sebenarnya justru disebabkan dan dipicu oleh elemen negara itu sendiri.
Menurut Hendardi, sebaiknya DPR belajar dari pengalaman penyusunan RUU yang tidak berkualitas. Puluhan UU yang telah disahkan kemudian diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan Konstitusi. Juga puluhan UU yang disahkan DPR RI tapi gagal mengatasi masalah atau tidak bisa dijalankan akibat karakter pengaturannya yang tidak bisa ditegakkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News