Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Kebijakan Publik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad menilai, semangat reformasi birokrasi dalam Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja sebagai konsekuensi logis dari gerakan reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan di Indonesia.
“UU Cipta Kerja itu sebetulnya konsekuensi logis dari perubahan-perubahan atau gerakan reformasi di Indonesia. Saya melihat, UU ini bagian dari serangkain perubahan-perubahan yang sudah dilakukan terkait reformasi birokrasi,” kata Saidiman dalam diskusi daring bertajuk Reformasi Birokrasi 4.0: Peluang dan Tantangan Implementasi UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang digelar oleh Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) pekan lalu.
Gerakan reformasi birokrasi, kata Saidiman, bukan baru dilakukan kala pemerintahan Jokowi. Tetapi itu sudah diupayakan sejak era reformasi. Gerakan reformasi birokrasi bahkan terjadi di seluruh belahan dunia sedari dulu untuk menuntut perubahan birokrasi lama yang tidak efisien dan lama.
“Birokrasi lama ini dianggap tidak efektif. Sesuatu yang seharusnya bisa cepat diperlambat. Sesuatu yang harusnya bisa diurus sehari, itu bisa berbulan-bulan,” beber Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University itu.
Baca Juga: Kemenag ungkap kemudahan pelaku usaha umrah dan haji khusus dengan UU Cipta Kerja
Saidiman menjelaskan, di dunia pada 1980-1990-an ada gerakan reformasi birokrasi yang disebut New Public Management, yang menuntut perubahan sistem birokrasi yang berorientasi output dan menerapkan manajerial ala perusahaan swasta pada birokrasi pemerintahan.
Namun gerakan ini, lanjutnya, dianggap kurang memadai sehingga dikoreksi oleh gerakan reformasi birokrasi baru yang tuntutannya adalah birokrasi pemerintahan yang lebih efektif, transparan dan efisien dalam memberikan pelayanan dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
“Intinya, gerakan ini menuntut negara lebih efektif, ramping dan saat yang sama bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada publik,” terangnya.
Lebih jauh Saidiman menyebut, UU Cipta Kerja sejalan dengan gerakan reformasi birokrasi baru itu. Menurutnya, UU Cipta Kerja perlu dilihat berkesinambungan dengan reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan di Indonesia sejak 1999 dan dilakukan oleh pemimpin sebelum Jokowi dan kepala-kepala daerah yang reformis dan memiliki komitmen pada tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien dan transparan.
“Reformasi birokrasi sebelum ada UU Cipta Kerja itu dilakukan secara sporadis di daerah-daerah. Kekuatan reformasi itu ada di pemimpin-pemimpin daerah. Misalnya, di Jakarta, ada e-budgeting, aplikasi lapor Qlue, dan open recruitment untuk jabatan strategis di DKI yang dilakukan Ahok,” Saidiman mencontohkan.
Maka reformasi birokrasi setelah ada UU Cipta Kerja tidak lagi bergantung pada munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang reformis. “UU Cipta Kerja menjadikan reformasi birokrasi lebih sistematis dan lebih institusional dalam skala besar,” kata Saidiman
Baca Juga: Ada UU Cipta Kerja, KIJA optimistis kinerja tahun depan lebih baik
Itu mengapa Saidiman menyimpulkan, kebutuhan untuk menghadirkan undang-undang seperti UU Cipta Kerja merupakan tuntutan reformasi birokrasi yang lebih institusional dan tidak sporadis lagi dan niscaya dibutuhkan hadir, cepat ataupun lambat.
“UU Cipta Kerja juga selain menjadi rangkain reformasi birokrasi, ini juga menurut saya bagian dari rangkaian transformasi ekonomi yang memang dicita-citakan oleh oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedari awal,” sambung Saidiman.
Ia menjelaskan, ada tiga hal yang dilakukan Jokowi untuk transformasi ekonomi. “Pertama, pembangunan infrastruktur secara merata dan massif sejak periode pertama. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang dicanangkan pada periode kedua ini. Lalu ketiga, reformasi institusional yang bentuknya adalah Omnibus Law Cipta Kerja ini,” bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News