Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Lebih jauh Saidiman menyebut, UU Cipta Kerja sejalan dengan gerakan reformasi birokrasi baru itu. Menurutnya, UU Cipta Kerja perlu dilihat berkesinambungan dengan reformasi birokrasi yang selama ini dilakukan di Indonesia sejak 1999 dan dilakukan oleh pemimpin sebelum Jokowi dan kepala-kepala daerah yang reformis dan memiliki komitmen pada tata kelola pemerintahan yang efektif, efisien dan transparan.
“Reformasi birokrasi sebelum ada UU Cipta Kerja itu dilakukan secara sporadis di daerah-daerah. Kekuatan reformasi itu ada di pemimpin-pemimpin daerah. Misalnya, di Jakarta, ada e-budgeting, aplikasi lapor Qlue, dan open recruitment untuk jabatan strategis di DKI yang dilakukan Ahok,” Saidiman mencontohkan.
Maka reformasi birokrasi setelah ada UU Cipta Kerja tidak lagi bergantung pada munculnya pemimpin-pemimpin daerah yang reformis. “UU Cipta Kerja menjadikan reformasi birokrasi lebih sistematis dan lebih institusional dalam skala besar,” kata Saidiman
Baca Juga: Ada UU Cipta Kerja, KIJA optimistis kinerja tahun depan lebih baik
Itu mengapa Saidiman menyimpulkan, kebutuhan untuk menghadirkan undang-undang seperti UU Cipta Kerja merupakan tuntutan reformasi birokrasi yang lebih institusional dan tidak sporadis lagi dan niscaya dibutuhkan hadir, cepat ataupun lambat.
“UU Cipta Kerja juga selain menjadi rangkain reformasi birokrasi, ini juga menurut saya bagian dari rangkaian transformasi ekonomi yang memang dicita-citakan oleh oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedari awal,” sambung Saidiman.
Ia menjelaskan, ada tiga hal yang dilakukan Jokowi untuk transformasi ekonomi. “Pertama, pembangunan infrastruktur secara merata dan massif sejak periode pertama. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang dicanangkan pada periode kedua ini. Lalu ketiga, reformasi institusional yang bentuknya adalah Omnibus Law Cipta Kerja ini,” bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News