Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Praktik under-invoicing atau penggelembungan nilai transaksi ekspor-impor kembali menjadi sorotan.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut praktik ini sebagai masalah struktural yang menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan dalam jumlah besar, sekaligus menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat.
"Kalau kita bicara under-invoicing, inti masalahnya sederhana, yakni negara kehilangan penerimaan, dan pasar jadi tidak sehat karena sebagian pelaku usaha bermain di jalur gelap," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Selasa (18/11).
Menurut Yusuf, langkah Kementerian Keuangan yang belakangan fokus mengawasi praktik ini merupakan sinyal bahwa masalahnya masih berlangsung dan tidak kecil skalanya.
Baca Juga: Indef Soroti Praktik Under-Invoicing yang Rugikan Negara Puluhan Triliun
Dari temuan Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam beberapa pemeriksaan terbaru, terdapat indikasi kuat bahwa celah under-invoicing dimanfaatkan eksportir dan importir untuk menekan nilai transaksi demi mengurangi beban pajak maupun bea masuk.
Yusuf menyebut kerugian akibat praktik tersebut bisa sangat bervariasi. Pada kasus tertentu, misalnya produk turunan sawit, temuan mislabeling dan manipulasi nilai transaksi dapat menyebabkan potensi kerugian hingga ratusan miliar rupiah.
Namun jika ditarik ke skala nasional, angka kebocoran bisa jauh lebih besar.
"Berbagai studi mengenai trade misinvoicing memperkirakan potensi kebocoran negara bisa mencapai puluhan sampai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Jadi ini bukan sekadar isu teknis, tapi masalah struktural," kata Yusuf.
Integrasi Data
Praktik under-invoicing dinilai paling banyak muncul pada komoditas dengan nilai tinggi dan harga yang fluktuatif.
Yusuf menyebut sejumlah sektor yang konsisten masuk dalam radar risiko, yakni produk sawit dan turunannya, impor pakaian bekas atau balpres, serta barang elektronik, mesin, dan komponen industri.
"Ciri umumnya adalah produk yang harga internasionalnya fluktuatif atau mudah dimanipulasi klasifikasinya," jelasnya.
Baca Juga: Prabowo Targetkan 80 Ribu Koperasi Desa Punya Bangunan Fisik pada April 2026
Untuk menekan praktik ini, Yusuf menekankan pentingnya integrasi data lintas instansi, mulai dari invoice, sistem perbankan, hingga bill of lading dan data referensi internasional.
"Kita harus memastikan bahwa data invoice, data perbankan, bill of lading, sampai nilai referensi internasional itu saling terhubung. Begitu ada invoice yang nilainya tidak masuk akal, sistem harus bisa otomatis menandai," ujarnya.
Meski pemeriksaan fisik tetap diperlukan untuk sektor berisiko tinggi, ia menilai pendekatan manual saja tidak cukup tanpa dukungan teknologi dan koordinasi antar lembaga.
Baca Juga: BI Diproyeksikan Tahan Suku Bunga 4,75% untuk Jaga Stabilitas Rupiah
Selain pengawasan, Yusuf menilai pemerintah harus membenahi insentif agar pelaku usaha tidak lagi memilih jalur manipulasi nilai transaksi. Saat ini, margin keuntungan dari under-invoicing jauh lebih besar dibandingkan risiko ketahuan.
"Jadi sanksinya harus nyata dan menimbulkan efek jera, sementara pelaku yang patuh diberikan kemudahan, misalnya jalur cepat di kepabeanan," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya temuan mengejutkan terkait manipulasi harga dalam impor sejumlah barang.
Ia menemukan selisih nilai yang sangat besar antara harga tercatat di dokumen impor dan harga pasar sesungguhnya, yang mengindikasi kuat adanya praktik under invoicing.
"Yang saya waktu datang ke Surabaya, ternyata betul ada under invoicing. Itu US$ 5 dolar yang pendek, US$ 7 dolar yang panjang. Saya pikir saya salah baca. Rupanya enggak. Saya iseng-iseng cek di marketplace, ternyata ada yang Rp 50 juta," kata Purbaya.
Dari satu kontainer yang diperiksa, pemerintah berhasil menagih tambahan pajak impor sebesar Rp 220 juta. Purbaya memastikan pemeriksaan akan diperluas ke kontainer lainnya.
Purbaya mengatakan, perusahaan yang terlibat bukan pelaku usaha kecil, melainkan perusahaan besar yang mudah dilacak. Ia juga memberi peringatan keras kepada perusahaan yang melakukan praktik tersebut.
"Kita akan meminta perusahaan itu, perusahaan besar rupanya, jangan sampai melakukan hal yang sama lagi. Kalau dia melakukan hal yang sama, saya akan larang impor dari perusahaan itu," kata Purbaya.
Perketat Pengawasan
Untuk memperkuat pengawasan dan menutup celah kecurangan, Purbaya akan memperketat pengawasan di pelabuhan dan memanfaatkan teknologi, termasuk artificial intelligence (AI) serta sistem monitoring jarak jauh.
"Nanti under invoicing-nya kita coba terapkan pakai AI supaya jalan," imbuh Purbaya.
Baca Juga: DJP Buka Suara Soal Penggeledahan Rumah Sejumlah Pejabat oleh Kejagung
Bank data dan monitoring akan dilakukan secara real-time dari Jakarta, sehingga aktivitas petugas lapangan bisa diawasi. Purbaya menyebut kegiatan ilegal kerap terjadi pada malam hari.
"Jadi ke depan akan lebih serius ya tim Itjen, Bea Cukai untuk melihat dan mencermati under-invoicing dengan lebih serius dari sekarang," tegas Purbaya.
Selanjutnya: Prabowo Terima Kunjungan Michael Bloomberg, Bahas Potensi Kerja Sama dengan Danantara
Menarik Dibaca: Ramalan Karier Shio Tahun 2026, Promosi dan Kenaikan Gaji Menanti Shio Ini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













