kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tuntutan berujung penawanan, perusahaan tutup


Rabu, 14 November 2012 / 07:10 WIB
ILUSTRASI. Air lemon


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan

Siang itu bangunan PT Dharma Guna Wibawa (DGW) Chemicals tampak sepi. Hanya belasan sepeda motor diparkir tepat di depan pintu gerbang setinggi tiga meter yang terbuka sedikit itu. Nyaris tak ada aktivitas di bangunan dua lantai bercat abu-abu muda itu.

Sejak awal Oktober lalu, perusahaan asal China ini berhenti beroperasi dan berencana relokasi ke Malaysia. Dari laporan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), DGW Chemicals adalah satu dari 10 perusahaan yang berencana merelokasi pabriknya ke luar negeri. Pemicunya, tindakan buruh yang dianggap kelewat batas dalam menuntut kenaikan upah dan penghapusan sistem kerja alih daya alias outsourcing.

Saat KONTAN menyambangi perusahaan yang sejak tahun 2009 berlokasi di kawasan Jababeka III, Cikarang, Bekasi, Senin (12/11) lalu, di dalam pabrik seluas satu hektare itu berdiri sebuah tenda. Ada sekitar dua puluhan pria yang tengah duduk-duduk santai sambil ngobrol di tenda tersebut. Mereka adalah buruh PT DGW Chemicals yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Buruh sengaja mendirikan tenda di dalam pabrik sekaligus menjaga aset perusahaan yang mencapai ratusan miliar. "Kami menawan aset perusahaan demi menuntut hak," tandas Rahmat Wahidin, Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia sektor PT DGW Chemicals.

Menurut Wahidin, seluruh pekerja yang berjumlah 200 orang di-PHK sepihak pada 8 Oktober silam dengan dalih pabrik tutup. Buruh tidak terima dirumahkan lantaran alasan perusahaan ganjil. Sebab, tidak ada bukti legalitas bahwa pabrik berhenti beroperasi atau bangkrut. "Pekerja cuma terima kabar secara lisan dari pengacara yang disewa manajemen perusahaan," ungkapnya.

Sebelum mem-PHK, pada Juli 2012, perusahaan berjanji menaikkan upah dari Rp 1,3 juta menjadi Rp 1,8 juta per bulan atau sesuai dengan UMK Bekasi. Sampai Agustus 2012, janji tinggal janji. Baru pada pada 21 September, buruh dan manajemen membuat kesepakatan yang soal besaran upah sesuai UMK Bekasi. "Tapi sehari setelah perjanjian itu diteken, bagian personalia menyatakan buruh diliburkan," jelas Wahidin.

Puncaknya pada 8 Oktober lalu, perusahaan yang awalnya beroperasi di Sunter sejak tahun 2006 itu menyatakan diri menutup operasi. Manajemen mengklaim tak punya tanggungan lantaran telah melunasi upah buruh sampai sisa kontrak habis. "Perusahaan membayar pesangon tak sesuai kesepakatan, yakni Rp 1,8 juta per bulan, tapi hanya Rp 1,3 juta per bulan," papar Wahidin.

Makanya, buruh terpaksa menahan aset pabrik berkapasitas produksi 900 ton herbisida dan 150 ton insektisida per bulan itu, sampai manajemen memenuhi kewajibannya.
David Yauri, pemilik PT DGW Chemicals menyayangkan aksi buruh yang menahan aset pabrik. Kata dia, perusahaan sudah berupaya menaikkan upah sesuai UMK.

David mengakui bahwa negosiasi sempat buntu. Akibatnya, tujuh malam manajemen ditawan dan dipaksa meneken pengangkatan pekerja outsourcing dan upah sesuai UMK. "Setelah ditawan buruh, kami langsung menutup pabrik," akunya.
Franky Sibarani, Wakil Sekretaris Umum Apindo menyesalkan tindakan buruh yang mengintimidasi manajemen perusahaan.  

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×