Reporter: Siti Masitoh | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Total Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) jatuh tempo mencapai Rp 922,4 triliun pada 2025.
Kepala Ekonom BCA David Sumual mencatat, total SRBI jatuh tempo tersebut terdiri dari, pada kuartal I mencapai Rp 192,38 triliun, pada kuartal II mencapai 277,53 triliun, pada kuartal III Rp 248,28 triliun, dan pada kuartal IV mencapai Rp 204,21 triliun.
David menilai adanya SRBI jatuh tempo ini bisa menimbulkan potensi terjadinya crowding out, yaitu perebutan likuiditas antara pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan SRBI.
“Selama kondisi eksternal belum kondusif kemungkinan bisa saja terjadi crowding out atau perebutan likuiditas antara pasar SBN dan SRBI,” tutur David kepada Kontan, Selasa (7/1).
Baca Juga: Lelang Perdana SUN Sepi Peminat
Ia menjelaskan, apabila terjadi crowding out, maka kondisi likuiditas menjadi ketat, dan kondisi perekonomian global menjadi semakin memburuk imbas Donald Trump Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) yang agresif dalam melakukan kebijakan tarif perdagangannya.
David menilai, imbal hasil SBN maupun SRBI juga berpotensi meningkat, namun tergantung dengan kondisi eksternal.
Akan tetapi, ia menyebut dengan katalis yang positif, misalnya dari realisasi investasi asing atau Foreign Direct Investment (FDI) yang mengalir deras bisa berdampak positif bagi imbal hasil SBN.
“Katalis positif kita harapkan dari realisasi investasi langsung asing dan mulai meningkatnya harga komoditas seperti coklat, kopi dan CPO,” ungkapnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo meramal, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dalam pemilu 2024 diperkirakan bakal menghantam arus perdagangan global.
Sebab, bila melihat ke belakang pada masa Trump menjabat sebagai Presiden AS sebelumnya, strategi ekonomi AS akan lebih berorientasi domestik (inward looking policy).
Trump akan memberikan tarif perdagangan yang tinggi khususnya kepada negara-negara yang mengalami surplus besar terhadap AS. Seperti China, Uni Eropa, Meksiko, dan sejumlah negara yang lain, termasuk Vietnam.
Ia bahkan membeberkan, kebijakan tarif perdagangan yang tinggi, kemungkinan mulai akan diterapkan pada semester II 2025.
Hasil analisisnya, Perry mencontohkan, tarif perdagangan tersebut akan diterapkan kepada Uni Eropa, tarif 25% untuk besi, aluminium, kendaraan bermotor. Kemudian, dengan China dikenakan tarif 25% untuk mesin elektronik dan chemical.
Baca Juga: Pemerintah Kantongi Rp 26,2 Triliun dalam Lelang SUN Perdana 2025
Meski begitu, Perry menyebut tarif yang akan diterapkan akan bergerak dinamis, sehingga BI akan terus memantau perkembangan kebijakan tersebut.
Lebih lanjut, BI mencatat, dengan adanya kebijakan tarif perdagangan yang diterapkan oleh AS atau disebut fragmentasi perdagangan, kemudian akan menyebabkan perlambatan ekonomi utamanya di negara-negara yang paling terdampak yakni China, Eropa, dan juga Inggris.
“Ekonomi China yang selama ini melambat, kemungkinan akan melambat, Uni Eropa yang sedang naik, kemungkinan tidak jadi naik. Ini menyebabkan (perlambatan) ekonomi dunia akan naik,” ungkapnya.
Perry membeberkan, semula BI meramal pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 3,2% pada tahun 2025. Akan tetapi, karena adanya kondisi tersebut, pertumbuhan ekonomi global diramal melemah jadi 3,1%.
Meski kebijakan Trump akan mendorong pertumbuhan ekonomi AS menjadi baik, tetapi Perry memperkirakan inflasi AS justru akan turun lebih lambat.
“Sekarang inflasi AS 2,7% dan mengarah ke sasaran inflasi jangka menengah 2%. Ini juga menyebabkan penurunan Federal Funds Rate (FFR) lebih terbatas,” jelasnya.
Selanjutnya: Resmi Diperkenalkan ke Publik, Ini Profil Patrick Kluivert Pelatih Baru Timnas
Menarik Dibaca: 4 Makanan yang Tidak Boleh Dimakan saat Minum Kopi, Awas GERD!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News