kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Tim Tangguh Mandek, Sri Mulyani Masih Tunggu SK Presiden


Senin, 15 September 2008 / 20:28 WIB
Tim Tangguh Mandek, Sri Mulyani Masih Tunggu SK Presiden


Reporter: Rella Shaliha,Umar Idris | Editor: Test Test

JAKARTA. Tim negosiasi ekspor gas alam cair atau liquified natual gas (LNG) dari Blok Tangguh belum bisa beranjak maju. Tim negosiasi ini masih menunggu ketetapan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebagai ketua tim negosiasi, Menteri Keuangan yang juga Menteri Koordinator Ekonomi Sri Mulyani mengaku sudah menyampaikan daftar anggota tim kepada Presiden. "Tim itu terdiri dari tim negosiator dan tim teknis, sekarang persiapan sudah rampung semua," kata Sri Mulyani, Senin (15/9).

Alhasil saat ini tim negosiasi belum memiliki pilihan dalam negosiasi. Apakah akan mengurangi jumlah ekspor atau memutuskan kontrak, jika tidak mencapai harga yang memuaskan.

Sri Mulyani mengaku sejauh ini pemerintah baru melakukan komunikasi awal dengan pemerintah Cina untuk menegosiasikan kembali kontrak yang berpotensi merugikan Indonesia itu. Dalam negosiasi nanti, Sri Mulyani berjanji akan berusaha mencapai hasil yang lebih menguntungkan pihak Indonesia.

Sebelumnya, Djoko Harsono, Deputi Keuangan, Manajemen, dan Operasi Badan Pengatur Usaha Hulu (BP) Migas, yang menjadi salah satu anggota tim, mengaku tim negosiasi tidak memiliki opsi untuk membatalkan kontrak atau mengurangi volume ekspor. Sebaliknya, tim hanya memiliki mandat untuk menegosiasikan harga baru.

Pemerintah membentuk tim negosiasi karena harga jual gas Tangguh ke China sangat murah yakni hanya US$ 3,4 per juta metric british thermal unit (MMBTU), jauh di bawah harga pasar LNG yang saat ini mencapai US$ 20 per MMBTU. Ekspor yang rencananya akan berlangsung Desember 2008 itu berpotensi merugikan negara hingga Rp 1000 triliun.

Anggota Komite Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Triyono menyatakan kesepakatan harga dengan China pada 2002 tersebut merupakan harga yang wajar. “Apa pun yang disetujui dalam kontrak, semua sudah sesuai dengan kondisi pada waktu kontrak tersebut diteken," tambah Triyono.

Menurut Triyono, keadaan yang sama terjadi dengan Australia waktu itu. British Petroleum (BP) waktu menjual gas dari Australia ke China dengan harga gas. "Dari kontrak dengan China ini pemerintah memperoleh masukan sekitar US$ 500 juta per tahun, tapi masalah mulai muncul ketika harga minyak mentah dunia melonjak hingga ke atas US$ 100 per barel," kata Triyono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×