kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Tax Ratio Rendah Jadi Masalah Klasik, Indonesia Perlu Redesain Kebijakan Pajak


Selasa, 12 November 2024 / 17:00 WIB
Tax Ratio Rendah Jadi Masalah Klasik, Indonesia Perlu Redesain Kebijakan Pajak
ILUSTRASI. Redesain kebijakan pajak di Indonesia perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan fundamental pajak.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Redesain kebijakan pajak di Indonesia perlu dilakukan pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan fundamental pajak.

Founder DDTC Darussalam mengatakan saat ini sistem perpajakan di Indonesia menghadapi dua permasalahan yang perlu segera diatasi.

Pertama, rendahnya tax ratio atau rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Masalah ini sudah menjadi isu bertahun-tahun tanpa ada peningkatan signifikan, dengan kisaran tax ratio di angka 9% hingga 12% selama lebih dari satu dekade.

Angka ini jelas di bawah rata-rata negara-negara ASEAN maupun negara anggota OECD. Padahal, IMF menyarankan setidaknya membutuhkan tax ratio 15% untuk dapat menopang pembangunan negara.

"Sejak tahun 2010, kisaran tax ratio kita hanya berkutat di 9% hingga 12%,"  ujar Darussalam dalam acara Arah Kebijakan Perpajakan di Era Pemerintahan Kabinet Merah Putih, Selasa (12/11).

Masalah kedua yang disorot adalah rendahnya nilai tax bouyancy Indonesia yang hanya sebesar 0,88% dalam kurun waktu 2010 hingga 2019. Rendahnya angka tersebut menandakan bahwa Indonesia tidak mampu mengoptimalkan potensi pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Baca Juga: Belanja Perpajakan Terus Meningkat, Pemerintah Diminta Evaluasi Kemanfaatannya

Darussalam mencontohkan, sektor pertanian merupakan contoh konkret di mana sektor tersebut berkontribusi 13,02% terhadap PDB, namun sumbangan pajaknya di bawah 3%. Kondisi tersebut menunjukkan ketidakseimbangan dan perlunya reformasi struktural dalam penerimaan pajak.

"Setiap tahun kalau saya diundang sebagai ahli di Banggar DPR, mereka selalu bertanya, kenapa terjadi kejomplangan tax ratio kita? Saya hanya bilang, berani gak kita mengubah struktur penerimaan pajak? Berani enggak kita mengejar yang selama ini sektor-sektor yang memberikan kontribusi tinggi pada PDB, tapi kontribusinya rendah kepada penerimaan pajak, itu kita rubah," katanya.

Di sisi lain, dirinya mengakui bahwa hal tersebut akan sulit dilakukan lantaran dampak politik, terutama karena sektor tersebut didominasi oleh pelaku usaha kecil menengah (UMKM) dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Untuk menyelesaikan dua permasalahan tersebut, Darussalam menyarankan agar Indonesia meredesain kebijakan perpajakannya.

Darussakam mengusulkan agar struktur pajak lebih berfokus pada penerimaan dari pajak penghasilan perorangan dan sebagai komponen utama. Hal ini selaras dengan praktik perpajakan di negara-negara OECD.

"Kalau kita masih mengandalkan PPh Badan, sementara yang selalu kita anut ketika melakukan komporasi adalah negara-negara OECD, ya tentu kita harus sepakat bahwa PPh Orang Pribadi harus menjadi ujung tombak," katanya.

Baca Juga: Bukan Tax Holiday, CITA Sebut Apple Minta Pembebasan PPh 22 Impor pada Pemerintah RI

Selain itu, Darussalam juga menekankan pentingnya simplifikasi aturan pajak dan keterlibatan Wajib Pajak dalam proses pembuatan kebijakan.

Berdasarkan survei DDTC terhadap 2.000 wajib pajak pada 2023, simplifikasi pajak dan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dapat menurunkan biaya kepatuhan (compliance cost) dan meningkatkan kepatuhan sukarela.

"Simplifikasi membawa impact kepada biaya compliance cost yang lebih rendah," imbuh Darussalam.

Di sisi yang lain, pemerintah juga perlu melakukan redesain kebijakan pajak, khususnya dalam struktur penerimaan PPN dan pendekatan pemungutan pajak secara kolaboratif.

Menurutnya, untuk menjadikan PPN sebagai andalan penerimaan negara, pemerintah perlu kembali ke konsep dasar PPN sebagai pajak konsumsi yang menjunjung tinggi asas netralitas.

"Saya juga dipanggil DPR, bagaimana agar penerimaan PPN kita itu meningkat? Saya hanya bilang, jagalah netralitas PPN. Salah satu netralitas PPN adalah sedikit pengecualian. Awalnya semangat dari teman-teman DJP adalah memperkecil pengecualian PPN. Namun, ketika ini diusung, politiknya adakah kebutuhan pokok tidak dikecualikan, ini akan jadi ramai," katanya.

Menurut Darussalam, PPN bisa tetap dikenakan terhadap kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat kecil asalkan kebijaka tersebut dilengkapi dengan earmarking belanja. Melalui earmarking tersebut, PPN atas kebutuhan pokok bisa langsung dikembalikan ke masyarakat melalui belanja pemerintah.

Baca Juga: Terungkap! Ini Alasan Sri Mulyani Tolak Pembentukan Badan Penerimaan Negara

Dan terakhir, pemerintah perlu meredesain kelembagaan otoritas pajak. Dalam hal inu, otoritas pahak memerlukan fleksibilitas dalam aspek pengganggaran dan rekrutmen SDM.

Dengan fleksibilitas ini, otoritas pajak dapat menarik talenta terbaik di Indonesia dengan remunerasi yang kompetitif.

"Dari sisi SDM, perlu ada fleksibilitas untuk memanggil orang-orang terbaik di Indonesia untuk bisa bergabung ke lembaga pajak ini dengan remunerasi yang tidak kalah dengan yang ada di luar," kata Darussalam.

Selanjutnya: Simak Jadwal IPO Adaro Andalan (AADI) Beserta Skema PUPS dari ADRO

Menarik Dibaca: Bikin Batu Ginjal, Ini 5 Akibat Sering Menahan Buang Air Kecil yang Patut Diwaspadai

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×