kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.403.000   -6.000   -0,25%
  • USD/IDR 16.694   -6,00   -0,04%
  • IDX 8.672   -38,72   -0,44%
  • KOMPAS100 1.184   -9,10   -0,76%
  • LQ45 849   -6,20   -0,73%
  • ISSI 310   -0,84   -0,27%
  • IDX30 438   -4,20   -0,95%
  • IDXHIDIV20 508   -5,66   -1,10%
  • IDX80 132   -1,01   -0,76%
  • IDXV30 139   -1,81   -1,28%
  • IDXQ30 140   -1,54   -1,09%

Tantangan Global dan Domestik di Tahun 2026 Membayangi Target Pertumbuhan 8%


Selasa, 09 Desember 2025 / 10:37 WIB
Tantangan Global dan Domestik di Tahun 2026 Membayangi Target Pertumbuhan 8%
ILUSTRASI. Tahun 2026 dianggap menjadi tahun krusial bagi arah ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dengan adanya tantangan global dan domestik


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tahun 2026 dinilai menjadi tahun krusial bagi arah ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, ketika tekanan global dan domestik membayangi upaya mencapai target pertumbuhan 8% pada 2029.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, capaian pertumbuhan pada tahun tersebut akan menjadi indikator penting sekaligus pembuktian, terutama karena APBN 2026 merupakan anggaran pertama yang sepenuhnya disusun kabinet Prabowo, saat program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa Merah Putih mulai terlihat implementasinya.

Pertumbuhan ekonomi 2026 akan menggambarkan apakah target tumbuh 8% pada 2029 akan terwujud,” ujarnya dikutip Selasa (9/12/2025).

Namun, di tengah penyusunan APBN tersebut, ia mengingatkan tantangan global dan domestik yang justru semakin besar dan berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2026.

Baca Juga: Purbaya Geram! Banyak Importir Balpres Tak Bayar Pajak Bertahun-tahun

Ekonomi Mitra Dagang Melambat dan Harga Komoditas Melemah

Wijayanto memaparkan bahwa meski ekonomi global diproyeksikan sedikit membaik, sebagian besar negara mitra dagang utama Indonesia diprediksi justru mengalami perlambatan atau stagnasi pertumbuhan ekonomi.

Tujuh negara tujuan utama ekspor Indonesia seperti China, Amerika Serikat, India, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, dan Jepang diperkirakan melambat pada 2025–2026, masing-masing sebesar 0,4% (simple average) dan 0,3% (weighted average berdasarkan proporsi ekspor Indonesia).

Ketidakpastian juga meningkat akibat Trump Tariff, yang membuat prospek volume ekspor Indonesia pada 2026 terhambat.

Kondisi ini menyebabkan potensi pertumbuhan volume ekspor Indonesia di 2026 terhambat,” katanya.

Sebanyak 60% ekspor Indonesia berasal dari komoditas, dengan enam komoditas utama mewakili 42% total ekspor. Namun harga batubara, CPO (crude palm oil/minyak sawit), dan nikel yang merupakan tiga komoditas terbesar ini terus terkoreksi dalam setahun terakhir.

Dikombinasikan dengan melemahnya permintaan dari mitra dagang, nilai ekspor Indonesia pada 2026 berisiko stagnan atau tumbuh sangat rendah.

Neraca Pembayaran Belum Pulih Pasca Covid-19

Menurut Wijayanto, pola transaksi luar negeri Indonesia berubah signifikan sejak pandemi.

Pada transaksi berjalan, impor barang dan jasa meningkat sementara utang melonjak dan beban bunga membesar.

Pada transaksi finansial, arus masuk investasi asing langsung atau foreign direct investmen/FDI masih stagnan, sementara investasi portofolio melambat bahkan memasuki fase outflow atau arus modal keluar.

Situasi makro Indonesia terdistrupsi Covid-19 dan belum mengalami recovery menuju situasi normal,” ujarnya.

Hal ini menurut Wijayanto  membuat pattern transaksi berjalan dengan transaksi finansial bergeser menjadi lebih dinamis dan sulit diprediksi.

Selain itu Trump Tariff juga berpotensi membuat dinamika transaksi eksternal di tahun 2026 semakin tidak terprediksi.

Defisit Pendapatan Primer Melebar dan Outflow Portofolio Berlanjut

Wijayanto juga menyoroti melemahnya pendapatan primer, yang kini makin tertinggal oleh FDI.  “Investasi yang masuk makin tidak cukup untuk membayar dividen dan bunga utang,” ujarnya.

Dalam catatannya, kombinasi antara FDI, portfolio dan pendapatan primer menunjukkan tren yang mengkhawatirkan selama empat kuartal terakhir, dimana deficit membesar bahkan menembus US$ 14 miliar pada kuartal II dan III.

Outflow investasi portofolio juga berlanjut. Pada September hingga 20 Oktober 2025, tercatat outflow US$ 5,26 miliar, memunculkan risiko tekanan lebih besar di sektor moneter.

Menjaga keyakinan investor dengan institusi dan kebijakan moneter dan fiskal yang kredibel adalah solusi terbaik,” tegasnya.

Baca Juga: Purbaya Ultimatum Pengusaha CPO: Ikuti Aturan Atau Saya Hajar!

Rupiah Tertekan Hampir terhadap Semua Mata Uang

Dalam satu tahun terakhir, rupiah melemah terhadap 84,3% mata uang dunia dan turun terhadap seluruh mata uang utama kecuali rupee India.

Wijayanto menyebut keberlanjutan fiskal, neraca pembayaran, serta ketergantungan komoditas sebagai isu utama yang perlu ditangani.

Kredit dan Sektor Riil Melambat

Wijayanto juga menyoroti perlambatan pertumbuhan kredit yang terus berlanjut pasca pelantikan Prabowo pada 20 Oktober 2024.

Pertumbuhan kredit jauh di bawah kondisi normal sekitar 12%. Bahkan setelah pemerintah menggelontorkan likuiditas Rp 200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), pertumbuhan kredit tetap melambat.

Kredit konsumsi dan kredit modal kerja masing-masing hanya tumbuh sekitar 4% dan 7%. Hal ini menurutnya menunjukkan daya beli masyarakat yang masih lemah serta dunia usaha yang belum berencana meningkatkan produksi.

Perlambatan sektor riil ini akan berdampak pada penurunan penerimaan pajak dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

Ruang Fiskal Menyempit, Efektivitas APBN Terbatas

Tak cukup sampai di situ, APBN 2026 masih dibebani pembayaran bunga dan pokok utang terhadap penerimaan (DSR) dan rasio bunga terhadap penerimaan diproyeksikan masing-masing 43,1% dan 18%, jauh di atas batas aman 25%–30%.

Sementara itu, penerimaan negara melemah akibat perlambatan ekonomi dan deindustrialisasi. Penerimaan diperkirakan hanya 9,25%–9,85%, lebih rendah dari proyeksi pemerintah 10,03%–10,47%.

“Ruang fiskal semakin sempit, jauh di bawah kondisi normal 10%. Efektivitas APBN sebagai daya dorong pertumbuhan makin terbatas,” tutur Wijayanto.

Ia menekankan perlunya rekalibrasi program strategis untuk menjaga keberlanjutan fiskal APBN Kita dan mendorong pertumbuhan inklusif.

Selanjutnya: Superbank (SUPA) Patok Harga IPO Rp 635, Valuasi Dinilai Atraktif Daripada Kompetitor

Menarik Dibaca: IPO Desember Ini, Super Bank (SUPA) Tawarkan Harga Saham Perdana Rp 635

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×