Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) saat ini dinilai belum efektif dalam menekan prevalensi perokok dan mengoptimalkan penerimaan negara.
Dalam laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita edisi Mei 2024, Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan cukai menurun sebesar 0,5% dibandingkan tahun sebelumnya, dipicu oleh penurunan penerimaan CHT yang merupakan kontributor utama penerimaan cukai.
Kenaikan CHT sebesar 10% di tahun 2024 tidak efektif karena terjadi perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal. Penurunan golongan 1 sebesar 3% secara tahunan atau year-on-year (yoy) diimbangi dengan kenaikan golongan 2 sebesar 14,2% yoy.
Baca Juga: Kinerja Emiten Rokok Masih Tertekan Tarif Cukai, Cermati Rekomendasi Analis
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menilai penurunan realisasi CHT dan produksinya perlu dievaluasi, terutama jika kenaikan cukainya terlalu tinggi.
Menurutnya, kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mengakibatkan penurunan penerimaan yang lebih besar.
Meski sistem multiyears sudah diterapkan untuk memudahkan pelaku usaha, besaran tarif harus tetap diperhatikan agar tidak terlalu eksesif. "Kenaikan cukai harus hati-hati agar penerimaan cukai tetap optimal," jelas Heri.
Heri juga menjelaskan bahwa kenaikan harga rokok yang lebih tinggi dari inflasi akan mendorong perokok untuk berpindah ke rokok yang lebih murah atau ilegal, merugikan kesehatan masyarakat dan berpotensi mengurangi penerimaan cukai.
Baca Juga: Belum Efektif, Pemerintah Perlu Kaji Ulang Struktur Tarif Cukai Rokok
"Diperlukan mekanisme pengendalian lain selain cukai untuk melindungi industri dan penyerapan tenaga kerja," tambahnya.
Heri merekomendasikan adanya roadmap jangka panjang untuk struktur tarif cukai agar perhitungannya transparan dan argumentasinya kuat.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto, menjelaskan bahwa banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya tarif cukai dan harga produk tembakau di Indonesia.
"Perbedaan pungutan cukai antar layer cukup signifikan, mendorong produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah," katanya.
Baca Juga: Kenaikan Tarif Cukai Rokok Dikhawatirkan Ancam Industri dan Pekerja
Agus menyarankan agar pemerintah menyederhanakan struktur tarif cukai yang saat ini sangat kompleks untuk mengurangi pertumbuhan rokok murah di golongan 2 dan 3.
"Pemerintah harus memangkas gap pungutan cukai antar layer untuk mempersempit perbedaan harga, sehingga pilihan konsumen ke produk yang lebih murah semakin terbatas," ungkapnya.
Senada dengan Agus, Heri juga menyarankan agar jarak antar layer dalam struktur tarif cukai dikurangi secara optimal.
Baca Juga: Ekosistem Industri Pertembakauan Minta Aturan Tembakau Dipisah dari RPP Kesehatan
"Aturan ini perlu diimbangi dengan penetapan tarif cukai yang ideal dan tidak terlalu tinggi untuk mengurangi perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News