Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus berupaya mengantisipasi ancaman resesi global terhadap perekonomian domestik. Salah satu langkah yang ditempuh adalah menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) pada tahun 2023.
Mengutip Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023. Pemerintah akan mengalokasikan SAL sebagai instrumen pengurang utang dan penyangga fiskal sebesar Rp 70 triliun. Nilai tersebut lebih rendah dari SAL tahun 2022 yang sebesar Rp 127,3 triliun.
“Pemerintah akan terlebih dahulu memanfaatkan sumber pembiayaan non-utang SAL untuk 2023,” tutur Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman kepada Kontan.co.id, Rabu (19/10).
Penggunaan SAL untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN sudah dilakukan sejak 2019. Sebagai konsekuensi atas penerapan kebijakan penanganan Covid-19 yang berdampak terhadap pelebaran defisit anggaran yang mencapai 6,14% terhadap PDB pada tahun 2020, pemerintah membutuhkan sumber pembiayaan guna menutup defisit tersebut yang salah satu sumbernya adalah pemanfaatan SAL.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Bayar Bunga Utang Rp 441,4 Triliun pada 2023
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, posisi SAL pada akhir 2021 tercatat sebesar Rp 337,77 triliun. Pada tahun 2020, penggunaan SAL sebesar Rp 70,6 triliun.
Pada tahun 2021, pemerintah kembali menggunakan SAL sebesar Rp 143,9 triliun. Kemudian di tahun 2022, penggunaan SAL diperkirakan sebesar Rp 127,3 triliun.
Pada 2019, penggunaan SAL sebesar Rp 15 triliun digunakan sebagai fiscal buffer untuk membiayai defisit serta pengeluaran pembiayaan anggaran dalam APBN tahun 2019.
Pada 2020, penggunaan SAL sebesar Rp 70,6 triliun digunakan sebagai fiscal buffer untuk membiayai defisit serta pengeluaran pembiayaan anggaran dalam APBN tahun 2020 yang mengalami tekanan sebagai dampak dari terjadinya Pandemi Covid-19.
Sedangkan pada 2021 pengunaan SAL sebesar Rp 143,9 triliun rerata digunakan untuk Penyertaan Modal Negara (PMN) bagi BUMN.
Baca Juga: Sri Mulyani Berkomitmen Kurangi Pembiayaan Utang Hingga Rp 216 Triliun pada 2022
Pertama, SAL sebesar Rp 20,1 triliun berdasarkan KMK nomor 476/KMK.02/2021 tentang Penetapan Rincian Pembiayaan Anggaran Pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Investasi Pemerintah untuk Investasi kepada BUMN sebesar Rp16,8 triliun, berupa PMN kepada PT Hutama Karya (Persero) sebesar Rp 9,9 triliun dan PMN kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 6,9 triliun dan untuk Investasi kepada BLU LMAN sebesar Rp3,3 triliun.
Kedua, penerimaan pembiayaan SAL Earmark sebesar Rp 123,8 triliun, yang berasal dari pencatatan penggunaan atas Sisa Dana Rekening Khusus PC PEN 2020 Public Goods sebesar Rp 53 triliun dan Sisa Dana Rekening Khusus PC PEN 2002 Non Public Goods sebesar Rp 4 triliun serta Pengembalian Penempatan Dana Tahun 2021 sebesar Rp 66,7 triliun.
Luky mengatakan, selian mengandalkan SAL, Pemerintah menyiapkan buffer alias penyangga pembiayaan berupa pinjaman tunai dari lembaga multilateral dan bilateral.
“Penerbitan di pasar domestik diupayakan menyasar lebih banyak investor domestik, termasuk investor SBN ritel, dengan besaran penerbitan yang akan disesuaikan dengan kebutuhan kas,” jelasnya.
Adapun Pemerintah menargetkan pembiayaan utang pada tahun depan sebesar Rp 696,3 triliun. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan target pembiayaan utang yang ada dalam APBN 2022 yakni Rp 870,5 triliun maupun outlook di tahun ini yang sebesar Rp 757,6 triliun.
Baca Juga: Kemenkeu Catat Utang Pemerintah Capai Rp 7.040 Triliun pada April 2022
Sebagian besar pembiayaan utang tahun 2023 akan dipenuhi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Instrumen pinjaman tersebut, akan lebih banyak dimanfaatkan terutama untuk mendorong kegiatan atau proyek prioritas pemerintah.
Rencana pembiayaan utang sebagian besar rencananya dilakukan dalam mata uang rupiah, berbunga tetap, dan dengan tenor menengah–panjang.
Lebih lanjut, Pembiayaan utang juga diharapkan dapat mendukung tercapainya kebijakan tersebut melalui peran utang sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Mau Beban Lebih Ringan, Rem Dulu Nafsu Berutang
Dalam pengelolaan utang, pemerintah terus berkomitmen akan mengedepankan prinsip kehati-hatian, menjaga agar selalu dalam koridor kesinambungan fiskal, dan memperhatikan kerentanan risiko fiskal.
Adanya batasan rasio utang 60% terhadap PDB dan batasan defisit APBN 3% terhadap PDB merupakan cerminan disiplin fiskal agar utang pemerintah tetap terkendali dan aman bagi keberlangsungan fiskal jangka Panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News