Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa risiko dari profil utang jatuh tempo yang tinggi pada tahun 2025 sangat kecil apabila kondisi perekonomian Indonesia membaik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kredibel dan kondisi politiknya stabil.
"Sehingga jatuh tempo yang seperti kelihatan tinggi itu tidak menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, kebijakan fiskal ekonomi dan politik tetap sama," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Kamis (6/6).
Berdasarkan paparannya, utang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp 800,33 triliun ini terdiri dari jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 705,5 triliun dan jatuh tempo pinjaman sebesar Rp 94,83 triliun.
Sri Mulyani berdalih, jatuh tempo utang pemerintah yang tinggi pada tahun depan disebabkan oleh penarikan utang yang jumlahnya besar pada saat pandemi Covid-19.
Baca Juga: LPEI Punya Utang Jatuh Tempo Rp 1,59 Triliun
"Jangan lupa pandemi Covid-19 yang waktu itu hampir membutuhkan Rp 1.000 triliun belanja tambahan dana untuk menambah belanja sebesar itu pada saat penerimaan negara turun 19% karena ekonominya berhenti waktu itu," katanya.
Ia menjelaskan, penarikan utang yang tinggi ini berasal dari skema burden sharing bersama dengan Bank Indonesia (BI).
"Burden sharing itu menggunakan Surat Utang Negara yang maturitasnya maksimal 7 tahun. Jadi kalau maksimum jatuh tempo dari pandemi kita itu semua di 7 tahun. Dan memang ini sekarang konsentrasi di 3 tahun," kata Menkeu.
Baca Juga: Utang Pemerintah Bengkak Menjadi Rp 8.253 Triliun pada Awal Tahun 2024
"Ini yang kemudian menimbulkan persepsi kok banyak sekali utang numpuk karena itu adalah biaya pandemi yang mayoritas kita issue surat utangnya berdasarkan agreement waktu itu Komisi XI dengan BI untuk melakukan burden sharing," imbuh Menkeu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News