Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, industri manufaktur di dalam negeri turut terdampak akibat konflik geopolitik di Timur Tengah yakni Iran dan Israel yang kembali memanas.
Sejalan dengan itu, kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan Amerika Serikat (AS) terhadap banyak negara termasuk Indonesia juga turut mempengaruhi.
“Manufaktur di dunia memang mengalami pelemahan, kontraksi itu juga dirasakan di Indonesia,” tutur Sri Mulyani saat melakukan rapat kerja dengan DPR RI, Kamis (3/7).
Baca Juga: Duh, Sri Mulyani Proyeksi Tax Ratio 2025 Turun Lagi ke Level 10,03%
Menurut Sri Mulyani, dampak global tersebut telah menekan sentimen para pelaku usaha di sektor industri manufaktur, ditandai dengan makin buruknya kontraksi Purchasing Managers' Index (PMI).
Ia mencatat, PMI Manufaktur Global sudah di bawah 50 sejak Mei 2025 dan terus merosot, bahkan untuk PMI Manufaktur Indonesia sudah ke posisi 46,9 pada Juni 2025 setelah sebelumnya pada Mei 2025 terkontraksi di level 47,4.
Di Indonesia sendiri, beberapa industri sudah terdampak. Misalnya penjualan mobil mengalami tren penurunan cukup dalam sebesar 15,1% dan untuk motor turun 0,1% pada Mei 2025
Selain itu, penjualan semen juga pada Mei 2025 turun 3,8%, setelah bulan sebelumnya meningkat 29,5%.
“Ini menggambarkan bahwa sekarang mulai masuk dampak global itu terhadap komponen pertumbuhan ekonomi Indonesia," ungkapnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Ingatkan Danantara Berperan Signifikan Tentukan Tumbuh Tidaknya Investasi
Sebelumnya, Ekonom dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai, penurunan PMI Manufaktur Indonesia berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih banyak lagi.
Perkiraan tersebut merespons belum adanya upaya nyata dari pemerintah untuk mengatasi PHK massal tersebut.
“(PHK lebih banyak) Sangat mungkin terjadi. Sayangnya pemerintah belum terbuka pandangannya, masih menggunakan data-data yang understated terkait PHK dan data-data ekonomi penting lainnya,” tutur Wijayanto kepada Kontan, Selasa (1/7).
Untuk diketahui, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melaporkan hingga awal Juni, jumlah pekerja yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai 30.000 kasus.
Wija menyebut, PMI Manufaktur RI terus merosot lantaran kondisi perekonomian yang berada dalam masa sulit, atau sifatnya struktural dan multidimensi.
Baca Juga: Sri Mulyani Akui Investasi Harus Tumbuh 3 Kali Lipat agar Ekonomi Tumbuh 5,8% di 2026
Misalnya, situasi ekonomi-politik global sangat dinamis, daya beli masyarakat terpuruk, daya saing ekonomi masih terpuruk, kondisi nilai tukar rupiah tertekan, utang melejit, dan fiskal pemerintah masih rentan.
Dengan segudang masalah yang menumpuk tersebut, Ia justru melihat bahwa pemerintah belum terlihat siap dengan kebijakan antisipatif yang memadai.
“Terlalu banyak fokus ke MBG (makan bergizi gratis), 80.000 Koperasi Merah Putih, 3 juta rumah, Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Giant Sea Wall (GSW). Ini mengganggu fokus ke hal-hal urgent yang justru sangat penting,” ungkapnya.
Baca Juga: Bidik Pertumbuhan Konsumsi 5,5% di 2026, Sri Mulyani Soroti Pentingnya Gaji Layak
Untuk mencegah kontraksi manufaktur lebih lanjut, Ia berharap adanya perbaikan iklim usaha secara total dari pemerintah, membuka pasar luar negeri dengan menandatangani Free Trade Agreement (FTA).
Selain itu, pemerintah dinilai baru memberantas impor ilegal dan shadow economy, memastikan kredit untuk dunia usaha tersedia dengan menghentikan crowding out akibat surat berharga negara (SBN).
Selanjutnya: WHO Meminta Negara Menaikkan Pajak Alkohol, Rokok dan MInuman Berpemanis
Menarik Dibaca: Ini Estimasi Waktu KPR Moms demi Wujudkan Rumah Impian di Tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News