Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup tengah merumuskan pengenaan sanksi denda kepada empat perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Seperti diketahui, 4 IUP nikel telah resmi dicabut oleh pemerintah. Empat perusahaan itu antara lain, PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) di Pulau Manuran, PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) di Pulau Kawei, serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Serta PT Nurham.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, ada pelanggaran serius lingkungan hidup yang dilakukan empat perusahaan tersebut.
Ketika ditanya soal denda, Hanif mengatakan akan ada sanksi denda yang dikenakan kepada empat perusahaan itu.
"Ada, nanti kita akan pengawasan detil untuk merumuskan langkah langkah pemulihannya," ujar Hanif di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (10/6).
Baca Juga: KKP Ungkap Dampak Kerugian dari Kegiatan Penambangan di Raja Ampat
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar mengatakan, pengenaan denda tidak bisa dipahami sekadar sebagai formalitas administratif atau bentuk ‘pemaafan’ atas kejahatan lingkungan yang sudah terjadi.
"Dengan kata lain, denda tidak boleh menjadi alat cuci tangan. Denda harus dibayar, tetapi pemulihan harus dijalankan secara penuh," ujar Melky kepada Kontan, Rabu (11/6).
Melky menambahkan, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Raja Ampat bukanlah kerusakan biasa. Ia terjadi di wilayah pulau kecil dengan keanekaragaman hayati laut dan darat yang luar biasa, dan merupakan warisan dunia yang tak tergantikan.
Karena itu, lanjut Melky, jika negara sungguh-sungguh berpihak pada keadilan ekologis, maka pengenaan denda harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut. Pertama, mengacu pada Prinsip “Polluter Pays”. Perusahaan tambang wajib menanggung seluruh biaya pemulihan ekosistem yang mereka rusak. Ini termasuk hutan, pesisir, daerah tangkapan air, dan laut.
"Denda bukan bentuk hukuman simbolik, melainkan konsekuensi logis dari kejahatan ekologis," kata dia.
Kedua, denda Harus proporsional, hukan tarif tetap. Denda harus dihitung secara terbuka dan ilmiah berdasarkan luas area yang dirusak, nilai ekologis dan biodiversitas yang hilang, kerugian ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, dan biaya pemulihan kawasan hingga kembali berfungsi.
Ketiga, audit lingkungan independen harus diterapkan. Audit terhadap kerusakan harus dilakukan oleh tim independen, bukan semata kementerian atau pihak perusahaan.
"Tanpa audit yang jujur, pemulihan hanya akan jadi basa-basi," ucap Melky.
Keempat, denda harus digunakan untuk pemulihan, bukan masuk kas umum. Dana denda tidak boleh menguap ke dalam APBN tanpa kejelasan. Harus dibentuk mekanisme dana khusus untuk pemulihan Raja Ampat, dikelola transparan dengan partisipasi masyarakat lokal, adat, dan pemda.
Kelima, denda tidak menghapus tanggung jawab hukum. Jatam menolak jika denda digunakan untuk menggugurkan proses pidana, perdata, atau administrasi lebih lanjut.
"Jika ada indikasi kejahatan lingkungan berat, seperti pemalsuan dokumen, pengabaian kawasan konservasi, hingga pelanggaran putusan hukum, maka aktor korporasi maupun pejabat pemberi izin wajib diusut," jelas Melky.
Keenam, evaluasi dan penindakan terhadap pejabat pemberi izin.
"Denda kepada korporasi saja tidak cukup. Pemerintah harus secara serius mengevaluasi, bahkan jika perlu mempidanakan, aparatur negara yang menerbitkan izin ilegal di kawasan pulau kecil seperti Raja Ampat. Tanpa itu, ini hanya pencitraan sesaat," tegas Melky.
JATAM mengingatkan bahwa Raja Ampat adalah pulau kecil. Segala bentuk tambang yang berada di atasnya secara terang-terangan melanggar UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).
Karena itu, pemulihan Raja Ampat tidak cukup hanya dengan denda. Pemerintah harus mencabut seluruh izin tambang yang tersisa di Raja Ampat. Melarang aktivitas pertambangan di seluruh pulau kecil Indonesia.
Patuhi UU PWP3K dan semua yurisprudensi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi terkait larangan tambang di pulau kecil.
"Pulihkan secara menyeluruh ekosistem dan ruang hidup masyarakat Raja Ampat," pungkas Melky.
Baca Juga: Ekonom Soroti Dampak Negatif Penambangan Nikel di Raja Ampat, Papua
Selanjutnya: GAPKI: Ekspor Minyak Sawit Makin Tertekan Imbas Kebijakan Tarif Trump
Menarik Dibaca: Tiga Tahun ZEP, Siswa Didorong Bangun Bisnis Berbasis Keberlanjutan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News