Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai keuntungan ekonomi dari aktivitas tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya tak sebanding dengan kerusakan ekologis yang ditimbulkannya.
Koordinator Nasional Jatam, Melky Kahar mengatakan bahwa nilai ekonomi nikel yang kerap digaungkan pemerintah tak mencerminkan realitas utuh di lapangan.
“Jika kita bicara soal tambang di Raja Ampat, kerusakan ekologis yang ditimbulkan jelas jauh lebih besar dari potensi keuntungan ekonominya. Ekosistem yang rusak artinya kita kehilangan ruang hidup dan ruang produksi masyarakat hutan, laut, dan sumber air yang selama ini menopang pangan, perikanan, hingga pariwisata berbasis alam,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (9/6).
Selain itu, lanjut Melky, pertambangan nikel tersebut juga berdampak terhadap kesehatan masyarakat dan memicu belanja ekonomi negara yang besar ke depan. Seperti, meningkatnya penyakit akibat pencemaran udara, air, dan tanah.
Baca Juga: KLH Dalami Kerusakan Lingkungan akibat Aktivitas Tambang di Raja Ampat
“Semua itu akan menjadi beban biaya yang ditanggung negara dan warga dalam jangka panjang. Jadi, saya kira, ini bukan sekadar soal hitungan investasi, tapi soal nyawa dan keberlanjutan hidup di masa depan,” terangnya.
Di samping itu, Melky mengungkapkan, terkait investasi dan penciptaan lapangan kerja dari aktifitas pertambangan jauh dari kenyataan, di mana investasi yang masuk mayoritas keuntungannya dibawa keluar negeri.
“Sementara itu, yang ditinggalkan adalah kawasan rusak, konflik agraria, dan warga lokal yang hanya mendapat peran marginal sebagai buruh kasar. Lapangan kerja tidak sebanding dengan kehilangan mata pencaharian tradisional yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Melky menambahkan, sikap yang perlu diambil pemerintah bukan sekedar evaluasi terhadap tambang di Raja Ampat saja, tapi menyeluruh terhadap seluruh tambang di Indonesia, khususnya di pulau-pulau kecil dan kawasan penting ekologis.
Menurutnya, saat ini banyak tambang berdiri di wilayah yang seharusnya dilindungi, bukan dieksploitasi.
“Pemerintah harus segera melakukan moratorium dan audit menyeluruh terhadap semua izin tambang, serta mengedepankan pemulihan lingkungan dan perlindungan wilayah kelola rakyat,” pungkasnya.
Baca Juga: Penambang Nikel di Raja Ampat Salahi Aturan UU No 1 Tahun 2014, Ini Alasannya
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyegel tambang nikel milik PT Anugerah Surya Pratama (ASP) di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Penyegelan dilakukan menyusul temuan aktivitas tambang yang diduga menimbulkan kerusakan lingkungan.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan, kegiatan penambangan PT ASP telah membuka lahan seluas 109,23 hektare di wilayah yang dikenal memiliki ekosistem laut yang sensitif tersebut.
“Jadi ini sudah dikasih juga diberikan papan penyegelan oleh teman-teman penegakan hukum,” kata Hanif dalam Konferensi Pers di Jakarta Pusat, Minggu (8/6).
Menurut Hanif, penyegelan dilakukan setelah pihaknya menemukan tingkat sedimentasi tinggi di sekitar pantai, yang diduga berasal dari aktivitas tambang.
“Ini memang menimbulkan pencemaran lingkungan dan kekeruhan dengan pantai yang cukup tinggi dan ini tentu ada konsekuensi yang harus ditanggungjawabi oleh perusahaan tersebut,” tegasnya.
Atas temuan ini, Kementerian Lingkungan Hidup juga telah meminta Bupati Raja Ampat untuk meninjau kembali persetujuan lingkungan yang telah diterbitkan kepada PT ASP.
Tak hanya itu, Hanif memastikan pemerintah akan menempuh langkah hukum baik pidana maupun gugatan perdata, karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sudah terekam.
Baca Juga: Ini Daftar Pulau di Raja Ampat dengan Tambang Nikel
Selanjutnya: Sudah Pertengahan 2025, Aturan Perpanjangan PPh Final UMKM Masih Menggantung
Menarik Dibaca: BCA Hadirkan Layanan Transaksi Mata Uang Won Korea Selatan (KRW), Berikut Promonya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News