Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar mengatakan nilai ekonomi dari aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya tak sebanding dengan risiko kerusakan lingkungan hidup di sana.
Bisman menjelaskan, produksi nikel saat ini tengah oversupply dan harganya pun dinilai sedang tidak bagus. Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Mineral dan Batubara, kegiatan usaha pertambangan harus didasarkan dengan asas berwawasan lingkungan.
“Artinya operasi pertambangan harus memperhatikan daya dukung Lingkungan Hidup. Kegiatan operasi pertambangan di Raja Ampat patut disesalkan karena terlihat bagaimana alam yang indah dan kaya sumber daya alam tersebut rusak oleh aktivitas usaha pertambangan,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (9/6).
Baca Juga: Jatam:Kerusakan Ekologis Tambang Nikel Raja Ampat Lebih Besar dari Potensi Keuntungan
Bisman menuturkan, pemerintah harus melakukan evaluasi atas operasi pertambangan di Raja Ampat, mulai dari proses penerbitan izin sampai dengan pengawasan operasi pertambangan termasuk juga implementasi good mining practice serta upaya reklamasi lingkungan hidup.
Dia bilang, pemerintah tidak boleh ragu untuk menghentikan dan mencabut izin pertambangan tersebut. Patut diduga, lanjut dia, kegiatan usaha tersebut melanggar UU tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan juga UU Lingkungan Hidup yang juga telah ditegaskan oleh Putusan MK tahun 2023.
Baca Juga: KLH Dalami Kerusakan Lingkungan akibat Aktivitas Tambang di Raja Ampat
“Pemerintah harus punya keberpihakan pada aspek lingkungan hidup dan konservasi alam, tidak hanya aspek pengusahaan semata dengan berlindung bahwa tidak ada perusakan alam atau telah mematuhi ESG,” tuturnya.
Lebih lanjut, Bisman menambahkan, pada prinsipnya usaha pertambangan memang tidak dilarang, namun perlu ada kebijakan khusus untuk daerah tertentu.
“Terlalu mahal risiko lingkungan hidup yang harus dibayar, sudah banyak contoh daerah lain yang rusak karena pertambangan, misalnya di Sulawesi Utara (Sultra), Sulawesi Tengah (Sulteng) dan daerah lainnya,” pungkasnya.
Baca Juga: Pertambangan di Raja Ampat Dinilai Menyalahi Aturan Undang-undang, Ini Alasannya
Selanjutnya: Kinerja Lesu di Awal 2025, Begini Strategi Adhi Karya (ADHI)
Menarik Dibaca: BCA Hadirkan Layanan Transaksi Mata Uang Won Korea Selatan (KRW), Berikut Promonya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News