kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.880.000   -4.000   -0,21%
  • USD/IDR 16.260   50,00   0,31%
  • IDX 6.928   30,28   0,44%
  • KOMPAS100 1.008   6,44   0,64%
  • LQ45 773   2,07   0,27%
  • ISSI 227   2,98   1,33%
  • IDX30 399   1,47   0,37%
  • IDXHIDIV20 462   0,59   0,13%
  • IDX80 113   0,62   0,55%
  • IDXV30 114   1,38   1,22%
  • IDXQ30 129   0,27   0,21%

SiLPA Membengkak hingga Rp 300 Triliun,INDEF Sebut Lemahnya Penyerapan Belanja Negara


Senin, 30 Juni 2025 / 21:24 WIB
SiLPA Membengkak hingga Rp 300 Triliun,INDEF Sebut Lemahnya Penyerapan Belanja Negara
ILUSTRASI. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (17/6/2025). Menteri Keuangan melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit sebesar Rp21 triliun atau 0,09 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada Mei 2025. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/bar


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyoroti besarnya nilai Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) yang dilaporkan pemerintah, yang disebut mencapai lebih dari Rp 300 triliun.

Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, angka tersebut terlampau besar dan mengindikasikan persoalan dalam penyerapan anggaran negara di tengah kondisi ekonomi yang melambat.

“Walaupun mungkin bisa dianggap sebagai hasil efisiensi, SILPA sebesar itu juga bisa merepresentasikan sulitnya pemerintah dalam mengeksekusi anggaran. Ini terlalu besar di saat ekonomi justru sedang butuh belanja yang lebih akseleratif,” ujar Eko kepada Kontan.

Baca Juga: Defisit Anggaran Terancam Melebar Akibat Lonjakan Harga Minyak Dunia

Menurutnya, idealnya SiLPA digunakan sebagai cadangan belanja hanya ketika penerimaan negara menurun atau dalam kondisi fiskal yang menekan. Namun dalam situasi saat ini, anggaran justru dibutuhkan untuk mendorong konsumsi dan pertumbuhan.

“Silpa itu seharusnya dipakai ketika ada kebutuhan mendesak, seperti saat pendapatan negara menurun. Tapi kalau dana itu ada, dan tidak segera dibelanjakan padahal dibutuhkan, itu menunjukkan perencanaan dan eksekusi yang kurang baik,” jelasnya.

Eko juga menyebut bahwa kondisi ideal dari pengelolaan anggaran negara adalah SiLPA nol, karena seluruh anggaran sudah direncanakan dan dieksekusi secara optimal. Sebaliknya, SiLPA yang terus menumpuk dapat menjadi indikator lemahnya perencanaan fiskal.

Baca Juga: Kemenkeu Percepat Belanja Transfer ke Daerah, Capai Rp 322 Triliun sampai Mei 2025

“Kalau kita bicara soal anggaran yang bagus, ya SiLPA-nya nol. Defisit bisa ditutupi oleh pembiayaan, dan semua anggaran berjalan. Tapi ini kan banyak yang tidak bisa dieksekusi, maka ada indikasi perencanaan yang tidak maksimal,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa SiLPA yang besar bisa menjadi akumulasi dari berbagai anggaran yang tidak terserap di tahun-tahun sebelumnya. Jika pola ini terus terjadi, maka akan mengganggu efektivitas kebijakan fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

“Jadi meskipun secara nominal ada penghematan, itu bukan hal yang ideal kalau ternyata karena tidak mampu mengeksekusi anggaran. Pemerintah harus lebih akseleratif dan memperbaiki manajemen perencanaan dan pencairan anggaran,” pungkas Eko.

Baca Juga: Menkeu Buka Opsi Tambah Utang Jika Defisit APBN 2025 Membengkak

Selanjutnya: Harga Rumah Australia Naik Lagi di Juni 2025: Perth, Brisbane, Sydney Paling Tinggi

Menarik Dibaca: Tren Alat Pembersih Multifungsi Meningkat, Tineco Jaring Pasar Global Wet & Dry

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×