Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. September 2017, Bloomberg dan The Wall Street Journal melaporkan rencana aksi korporasi oleh pengendali 42,81% saham PT BFI Finance Tbk (BFIN) yaitu Trinugraha Capital yang beranggotakan TPG Capital, Northstar Grup, dan pengusaha Garibaldi Thohir. Dikabarkan Trinugaraha akan meneken kontrak penjualan sahamnya di BFI mencapai nilai US$ 1 miliar.
Kabar ini juga sampai pada PT Aryaputra Teguharta, anak usaha PT Ongko Multicopora dimana keduanya pernah bersengketa ihwal kepemilikan sahamnya di BFI. Aryaputra khususnya, menerbitkan peringatan di Harian KONTAN, dan Harian KOMPAS, Rabu (9/5) lalu. Intinya Aryaputra kembali menegaskan, mereka adalah pemilik 32,32% saham BFI yang kini hilang dari kendalinya. Pun Aryaputra memperingati agar kabar soal pelepasan saham BFI tadi, tak dilakukan oleh siapapun, sebab bisa jadi dalam saham yang dijual kelak ada bagian miliknya yang kini lenyap.
Kontan.co.id berupaya menelusuri sengketa yang berawal sejak 1999 ini. Berikut rangkumannya.
1 Juni 1999 BFI Finance memberikan fasilitas kredit kepada Ongko. Jaminannya adalah 98.388.180 saham Ongko di BFI, dan 111.804.732 Aryaputra di BFI. Jangka waktu gadai saham Ongko dan Aryaputra mulanya habis pada 1 Juni 2000, kemudian diperpanjang enam bulan sehingga masa gadai akan habis pada 1 Desember 2000.
1 November 2000 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan upaya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sukarela oleh BFI.
7 Desember 2000 proposal perdamaian BFI diterima kreditur, PKPU berakhir damai. Sebab dalam PKPU, BFI menjual 210.192.912 saham milik Ongko dan Aryaputra kepada investor, yaitu Law Debenture Trust Corporation, perusahaan offshore trustee dari Inggris.
Seluruh saham Ongko dan Aryaputra yang telah dipegang Law Debenture jadi sumber restrukturisasi PKPU BFI. Rinciannya, 41.818.700 saham dijual kepada kreditur dalam PKPU. 83.637.399 saham digunakan untuk pola insentif dan remunerasi karyawan. Dan sisanya, 84.736.813 dijual kepada investor Law Debenture, yaitu The Chase Manhattan Bank, The Royal Bank of Scotland, dan Ernst & Young.
Tak terima, pada 2003 Aryaputra dan Ongko ajukan gugatan perdata kepada BFI, Law Debenture, Chase Manhattan, Royal Bank of Scotland agar untuk kembalikan saham-saham miliknya. 14 April 2004, Aryaputra menang. 9 November 2004, Ongko juga menang.
Di saat yang sama, Aryaputra juga sempat melaporkan Direksi BFI ke Mabes Polri atas dugaan penggelapan saham. 14 Mei 2004 laporan ini dihentikan, Mabes Polri menilai dugaan Aryaputra bukan tindak pidana.
Soal kemenangan Aryaputra dan Ongko di perkara perdata, para tergugat kemudian ajukan banding. Banding terhadap Aryaputra diterima 1 September 2004. Sementara banding terhadap Ongko diterima pada 23 Maret 2005.
Ongko dan Aryaputra keduanya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan ditolak. Kasasi Aryaputra ditolak pada 20 Juli 2005. Kasasi Ongko ditolak pada 27 Oktober 2005.
Aryaputra kembali melaporkan direksi ke Kepolisian pada Februari 2006. Kali ini dugaan atas pemalsuan dan penggunaan surat palsu.
Sementara soal penolakan kasasi, Aryaputra dan Ongko mengajukan ikhtiar peninjauan kembali. Kali ini Aryaputra melalui putusan 240 PK/PDT/2006 pada 20 Februari 2007 menang. Sementara penanjauan kembali Ongko sebaliknya, melalui putusan 115 PK/PDT/2007 19 Juli 2007 ditolak.
5 Oktober 2007 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan eksekusi guna melaksanakan putusan 240 PK/PDT/2006 dalam mengembalikan saham-saham Aryaputra.
10 Oktober 2007, Pengadilan Negeri Jakarta menetapkan eksekusi tak bisa dilakukan (non-executable) lantaran saham sudah tak berada di kendali para tergugat.
5 Mei 2009 laporan ke Mabes Polri sebelumnya juga dihentikan. Alasannya ketakcukupan bukti.
3 Juli 2009, dan 15 Juli 2009 Aryaputra memohonkan untuk membatalkan ketetapan eksekusi non executable.
23 September 2014, ketetapan eksekusi non-executable sempat dicabut. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memverifikasi status saham ke KSEI. 11 Desember 2014, KSEI terbitkan surat, tak ada pencatatan soal saham yang dimiliki Aryaputra di BFI.
24 Juni 2015 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menetapkan eksekusi tak dapat dilakukan.
20 November 2017 BFI mengajukan peninjauan kembali atas putusan PK/PDT/2006.
26 Januari 2018 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terbitkan ketetapan serupa. Eksekusi tak dapat dilakukan lantaran saham Aryaputra audah tak dikuasai para tergugat.
23 April 2018 upaya peninjauan kembali yang dimohonkan BFI ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News