Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo di setahun pertama kali ini mendapatkan rapor merah dari ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Nilai rendah pun diberikan Bhima untuk jajaran menteri di bidang ekonomi.
"Kalau pendapat saya reshuffle total seluruh menteri ekonomi, biar ada kepercayaan dan penyegar, sehingga ada harapan baru dari investor," kata dia kepada Kontan.co.id, Senin (19/10).
Bhima pun menyebut, saat ini merupakan waktu yang tepat bila presiden melakukan reshuffle. Pasalnya, perombakan dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun dan menyeluruh. Namun, perombakan ini pun akan baik bila melihat komposisi menteri setelah reshuffle dilakukan.
"Ini tergantung komposisi pasca reshuffle, apakah menterinya didominasi profesional, tentu itu menjadi pertimbangannya. Tetapi kalau diputar-putar saja, itu-itu saja, itu tidak berpengaruh juga," jelas dia.
Baca Juga: Beban berat APBN karena corona di setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin
Bhima pun berharap bila terjadi perombakan menteri, menteri yang dipilih didominasi oleh pihak yang kompeten dan profesional. Apalagi saat ini Indonesia tengah menghadapi kondisi extraordinary, dan membutuhkan menteri dengan kajian dan pengalaman yang kuat sehingga tidak perlu banyak penyesuaian.
Terlebih sejumlah menteri dari kabinet ini banyak yang harus belajar kembali dan tidak langsung tancap gas ketika menjabat sebagai menteri. "Nah langsung dihajar pandemi, jadi adjusmentnya lambat dilakukan," jelas dia.
Selain itu, banyaknya menteri yang berasal dari kalangan politik pun membuat kebijakan yang dihasilkan pada 1 tahun masa pemerintahan kurang tepat. Dia juga mengatakan menteri-menteri tersebut kurang sense of crisis.
Ini terlihat dari pemerintah yang menganggap remeh Covid-19 khususnya dari segi kebijakan ekonomi. Bahkan, pemerintah juga sangat optimistis sehingga pelaku usaha tidak disiapkan untuk menghadapi situasi terburuk.
Bhima pun memberikan berbagai catatan terhadap menteri-menteri ekonomi. Misalnya pada Menko Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang dianggap lebih sibuk membahas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan melupakan paket kebijakan ekonomi I hingga XVI. Padahal, paket kebijakan ekonomi ini bisa ditingkatkan untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19.
Dia juga menilai Kemenko perekonomian kali ini belum mampu mengharmonisasikan kinerja antara kementerian/lembaga bidang ekonomi.
Selanjutnya, Menko Maritim dan Investasi yang diisi oleh Luhut Panjaitan pun dianggap tidak fokus. Luhut disebut melaksanakan pekerjaan yang bukan bidangnya.
Baca Juga: Setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, begini kata pengusaha
"Seharusnya dia sekarang ini mengurus terkait efektivitas tol laut kemudian bagaimana mempercepat komitmen-komitmen investasi untuk masuk ke Indonesia. Tapi yang kemudian diurus menjadi satgas Covid-19. Dan ini akhirnya dia tidak memiliki fokus yang spesifik," ujar Bhima.
Sementara catatan untuk Menteri Keuangan Sri Mulyani pun ada. Bhina menilai Sri Mulyani belum bekerja dengan maksimal. Ini terlihat dari relokasi anggaran yang tidak dilakukan secara maksimal sementara pemulihan ekonomi lebih mengandalkan utang.
Padahal menurut Bhima, penerbitan utang ini akan menimbulkan berbagai permasalahan. Tak hanya itu, dia juga menganggap Kemenkeu belum maksimal mendorong realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Bahkan, terjadi berbagai permasalahan teknis misalnya kementerian/lembaga yang berkali-kali merevisi dipa. "Ini artinya kan panduan teknis dan pendampingan dari Kemenkeu pada kementerian/lembaga terkait sehingga serapan bisa menjadi lebih cepat ini masih lemah,' kata dia.
Tak hanya itu, Bhima pun menyoroti kinerja Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah yang dianggap kurang kompeten. Menurutnya, Menaker seakan alpa di tengah kondisi adanya UU Cipta Kerja dan di tengah banyaknya PHK.
Bhima menyebut, Menaker tidak mampu menjadi mediator di tengah konflik antara pengusaha dan pekerja. Bahkan, menurut Bhima, pihak yang lebih banyak menjelaskan UU Cipta Kerja justru BKPM.
"Padahal ini menyangkut hak-hak pekerja yang harusnya dimediasi oleh Kemnaker, dia dianggap juga kemudian tidak tegas dalam melindungi pekerja lokal, ketika masa pandemi, TKA dari China masih masuk ke Indonesia," katanya.
Baca Juga: Setahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, ini respons pelaku usaha sektor tambang dan migas
Hal yang sama juga dilihat pada Menteri Pertanian yang belum menunjukkan kinerja yang positif dalam hal produksi pangan. Bahkan, saat ini masih banyak petani yang kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi ketika memasuki masa tanam. Harga jual di level petani juga relatif rendah.
"Kementan juga malah sibuk bikin kalung anti corona yang kontra produktif di luar dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi)," jelasnya.
Menteri Perdagangan pun tak lepas dari sorotan Bhima. Menurut dia, belum ada terobosan dalam kinerja ekspor dan masih mengandalkan pasar tradisional.
Dia pun menilai surplus neraca dagang yang terjadi selama 5 bulan berturut-turut hanyalah semu. Mengingat itu terjadi karena turunnya impor barang baku, modal dan konsumsi.
Padahal, Kemendag bersama dengan atase perdagangan dan kedutaan besar bisa saling berkoordinasi untuk memperluas pasar di luar negeri, misalnya melihat barang apa yang bisa Indonesia siapkan karena tingginya permintaan atas barang tersebut di tengah pandemi.
"Jadi kita harus membaca tren perubahan permintaan secara global maupun pemetaan pasar-pasar alternatif lebih serius karena landscapenya berubah total dengan adanya pandemi," jelasnya.
Lalu, Menteri BUMN pun dianggap terlalu banyak mengeluarkan konsep tetapi aksinya minim. Menurutnya, daripada melakukan holding, lebih baik dilakukan penyelamatan BUMN dalam jangka pendek mengingat banyak BUMN yang mengalami kerugian finansial selama pandemi.
Dia juga mengatakan banyak sekali BUMN yang meminta penyertaan modal negara, termasuk mendapatkan stimulus dari pemerintah tetapi belum mampu menjadi motor pemulihan Indonesia.
Sementara, Bhima juga menilai BKPM terlalu menarasikan bahwa UU Cipta Kerja bisa melancarkan investasi, padahal menurutnya banyak hambatan-hambatan investasi lain yang bisa dituntaskan.
Dia juga menilai belum ada kecepatan investasi di Indonesia karena Indonesia terlambat mengambil peluang di tengah relokasi industri. Dia pun menilai Kepala BKPM belum berhasil mensosialisasikan UU Cipta Kerja kepada investor asing melihat banyaknya investor asing yang memprotes UU tersebut.
Selanjutnya: Setahun Jokowi-Ma'ruf Amin: Target terganjal wabah corona, komunikasi kabinet lemah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News