Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah semakin mempertebal dukungannya kepada sektor industri pengolahan melalui belanja perpajakan. Namun, sayangnya, dukungan fiskal ini belum membuahkan pemulihan nyata, malah justru menunjukkan tanda-tanda kelesuan.
Merujuk pada Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dalam periode 2021 hingga 2026, alokasi belanja perpajakan untuk industri pengolahan terus mengalami kenaikan. Misalnya dari tahun 2021 hanya Rp 72,3 triliun menjadi Rp 141,7 triliun pada tahun 2026.
Bahkan, industri pengolahan setiap tahunnya menjadi penerima alokasi belanja perpajakan terbesar dibandingkan sektor lainnya. Sayangnya, derasnya kucuran insentif pajak tersebut tidak membuat industri pengolahan bergairah.
Berdasarkan catatan KONTAN dengan mengutip data S&P Global, Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia melanjutkan tren kontraksi dan merosot ke level 46,9 pada Juni 2025. Merosotnya PMI Manufaktur Indonesia pada Juni disebabkan oleh penurunan tajam permintaan atas barang produksi dalam negeri.
Di mana, permintaan baru menurun selama tiga bulan berturut-turut, dengan tingkat kontraksi paling tajam sejak Agustus 2021.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan non-migas tumbuh 5,60% yoy pada kuartal II-2025, atau lebih tinggi dibandingkan pada kuartal sebelumnya sebesar 4,31% yoy, maupun periode sama tahun lalu sebesar 4,63% yoy. Sayangnya, laju pertumbuhan ini relatif stagnan.
Baca Juga: Sektor Manufaktur RI Lesu, Sektor Mebel dan Kerajinan Ikut Tertekan
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet membongkar alasan terjadinya fenomena tersebut.Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan pemerintah lebih banyak berfungsi sebagai keringanan biaya ketimbang pemicu langsung peningkatan permintaan.
"Jadi, insentif fiskal memang membantu menjaga arus kas perusahaan, tetapi tidak otomatis meningkatkan order baru yang menjadi penentu aktivitas produksi," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Senin (25/8/2025).
Ia menambahkan, lemahnya permintaan global, terutama dari negara mitra utama, membuat banyak pabrik masih berhati-hati dalam menambah kapasitas. Kondisi ini semakin berat akibat problem struktural dalam negeri, mulai dari biaya logistik dan energi yang tinggi, hingga ketergantungan pada bahan baku impor.
"Akibatnya, insentif perpajakan lebih banyak digunakan untuk menutup kekurangan tersebut daripada mendorong ekspansi," katanya.
Selain itu, Yusuf juga menyinggung dampak belanja perpajakan yang tidak merata karena tidak semua subsektor atau pelaku industri, terutama yang berskala kecil dan menengah mendapatkan fasilitas perpajakan.
Dengan situasi ini, ia memperingatkan bahwa meski aliran belanja perpajakan semakin besar, efeknya belum cukup kuat mengangkat industri pengolahan.
Tanpa perbaikan pada sisi permintaan masyarakat maupun penyelesaian hambatan struktural, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia dinilai sulit keluar dari tekanan kontraksi.
"Kata kuncinya memang ada juga pada sisi demand di mana ketika aspek demand permintaan dari masyarakat tidak diperbaiki maka permintaan terhadap berbagai produk industri akhirnya tidak mengalami peningkatan," tandasnya.
Baca Juga: Kontradiksi Data Pertumbuhan Industri BPS dan PMI Manufaktur, Mana yang Lebih Akurat?
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wiyanto Samirin menjelaskan, instrumen pajak merupakan salah satu faktor kecil dari banyak faktor yang diperlukan oleh sektor manufaktur untuk tumbuh.
Menurutnya, faktor terpenting merupakan kepastian hukum dan regulasi yang mewakili 90% dari seluruh permasalahan.
"Hingga saat ini praktek premanisme masih terus terjadi, termasuk premanisme dan birokrasi," kata Wija.
Wija mengakui bahwa berbisnis di Indonesia masih begitu sulit, apalagi untuk sektor manufaktur yang harus berurusan dengan banyak regulasi, institusi pemerintah dan mempunyai jalur rantai pasok yang panjang dan kompleks.
Untuk itu, ia mendorong pemerintahan Prabowo Subianto untuk memberantas tuntas permasalahan kepastian hukum yang menurutnya sudah seperti penyakit cancer stadium 4.
"KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu diperkuat dan disupport penuh, integritas aparat penegak hukum seperti kejaksaan, kehakiman dan kepolisian perlu dibangkitkan," pungkasnya.
Selanjutnya: IHSG Menguat 0,87% pada 25 Agustus 2025, Saham Bank BUMN Kompak Menghijau
Menarik Dibaca: 15 Minuman Diet Alami Penurun Berat Badan yang Bisa Dibuat di Rumah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News