Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Legislasi mengagendakan lanjutan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja. Baleg membahas sejumlah poin-poin usulan revisi UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Sejumlah poin usulan revisi UU 41/1999 menjadi sorotan Baleg. Setidaknya terdapat empat poin yang menjadi perdebatan antara pemerintah dan DPR.
Pertama, poin dalam pasal 15 UU 41/1999 yang berisi tentang pengukuhan kawasan hutan. Pemerintah mengusulkan pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono, mengatakan, usulan itu pengukuhan kehutanan tidak bisa dengan manual.
Baca Juga: Daftar negara Amerika Latin dan awal mula istilahnya
Teknologi satelit yang memungkinkan batas-batas hutan bisa selesai. Menurut dia pengaturan penggunaan teknologi ini harus masuk dalam UU. Dengan selesainya pengukuhan hutan, peta rencana detil tata ruang (RDTR) dan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) selesai.
“Teknologi satelit yang menjamin tanda batas selesai,” kata Bambang saat rapat pembahasan DIM RUU Cipta Kerja di Baleg, Selasa (1/9).
Anggota Panja Andreas Eddy Susetyo mengatakan, yang jadi permasalahan selama ini adalah adanya konflik dengan masyarakat adat. Sebab itu, Ia meminta harus ada konsultasi publik dalam pengukuhan kawasan hutan. Baleg mengkhawatirkan adanya hak masyarakat adat yang terganggu dengan adanya hal tersebut.
Staf Ahi Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Elen Setiadi mengatakan, partisipasi publik dalam pengukuhan kawasan hutan sudah ada dalam pasal 11 ayat 2 yang berbunyi Perencanaan kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah.
Baca Juga: Menteri Agama: Pendirian pesantren merujuk UU Pesantren, tak ada sanksi pidana
Kedua, poin tentang luas kawasan hutan yang harus dipertahankan. Pemerintah mengusulkan revisi pasal 18 ayat 2 menjadi “Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.”
Poin ini menjadi sorotan Baleg karena dalam UU 41/1999 pasal 18 ayat 2 sebelum usulan revisi berbunyi “Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.”
Hendroyono mengatakan, melihat Indonesia tidak bisa hanya kawasan hutan karena harus memperhatikan mozaik ekosistem. Ekosistem Indonesia berbeda dari Indonesia bagian barat, Indonesia bagian Tengah, dan Indonesia bagian timur.
“Kami mencoba membangun sebuah instrument baru, bukan instrument persentase tapi instrument jasa lingkungan, jasa ekosistem yang lahirnya dari sebuah penelaahan para ahli ketika UU 32 (tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup) itu melihat eco region,” ucap Bambang.
Menanggapi hal itu, Anggota Panja Sturman Panjaitan membacakan penjelasan pasal 18 ayat 2 terkait alasan para pakar terdahulu terkait kebijakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
Baca Juga: Pembahasan Omnibus Law Bikin Suara Buruh Terpecah
Penjelasan itu antara lain, dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelom-bang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseim-bangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi potensi dan kabupa-ten/kota yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadi-kan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya.
Baca Juga: Batam siap menyambut investasi dan industrialisasi
Ketiga, poin terkait perubahan peruntukan dan kawasan hutan. Pemerintah mengusulkan revisi pasal 19 ayat 1 yang berbunyi “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.” Baleg mempermasalahkan usulan revisi itu karena dalam UU 41/1999 pasal 19 ayat 1 sebelum usulan revisi berbunyi Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
Keempat, terkait poin dana reboisasi untuk hutan. Pemerintah mengusulkan revisi pasal 35 ayat 1 menjadi Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dibidang kehutanan. Baleg mempermasalahkan usulan revisi itu karena tidak adanya alokasi dana yang jelas untuk dana reboisasi hutan yang dikenakan ke pelaku usaha terkait pemanfaatan hutan.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengusulkan agar dana reboisasi itu disebutkan dalam revisi pasal tersebut agar jelas ada alokasi dana untuk reboisasi hutan yang dikenakan ke pelaku usaha. Lebih lanjut, Supratman memutuskan untuk menskors pembahasan dan melanjutkan pembahasan revisi UU 41/1999 dalam RUU Cipta Kerja pada esok hari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News