kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumlah kalangan mendesak pembahasan RUU Pertanahan supaya dilanjutkan


Selasa, 16 Juli 2019 / 13:01 WIB
Sejumlah kalangan mendesak pembahasan RUU Pertanahan supaya dilanjutkan


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA.  Sejumlah pihak mendesak agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dilanjutkan. Desakan ini muncul agar amanat Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dapat direalisasikan.

Untuk itu, desakan sejumlah kalangan salah satunya Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA) yang meminta agar pengesahan RUU Pertanahan ditunda dan pembahasannya dilanjutkan di periode 2019-2024 dinilai sudah tidak tepat.

Baca Juga: Target Kelar September 2019, Pembahasan RUU Pertanahan Dikebut

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo mengatakan, jangka waktu penantian selama 18 tahun untuk agar terbitnya RUU Kehutanan ini sudah lebih dari cukup. "Jangan sampai regulasi ini senasib dengan saudara tuanya, yakni UU 5 tahun 1960 (UU Pokok Agraria) yang sejak lahir dikerdilkan, “ kata  Sudarsono di Jakarta, Selasa (16/7).

Menurut Sudarsono, jutaan rakyat Indonesia selama puluhan tahun telah hidup dalam ketidakpastian akibat dari ketidakjelasan status tanah mereka. Untuk itu, ia bilang,  menunda pengesahan RUU Pertanahan bukan lagi opsi. "Sempurnakan segera bila masih ada yang dianggap kurang dan percepat pengesahannya bila mungkin,” sarannya.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR telah selesai bahas bab-bab penting RUU Pertanahan

Sudarsono berpendapat, pembenahan masalah pertanahan harus segera dilakukan.  Apalagi, label kawasan hutan sudah sangat mengganggu dan menghambat pembangunan nasional. Kegagalan pemanfaatan tanah di Indonesia sudah parah. Satu hal yang mungkin tidak disadari oleh banyak kalangan yakni karena rezim penguasaan dua pertiga tanah Indonesia bersifat otoritarianisme.

“Model seperti ini sudah jelas gagal di seluruh dunia. Ke depan, berikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan pilihannya. Bagi yang masih terikat oleh otoritarianisme, pilihannya hanya dua, yakni mendemokratisasi diri atau mati.”

Baca Juga: Penyelesaian RUU Pertanahan akan berdampak positif bagi perusahaan properti

Sudarsono menambahkan, ironi dari argumen kemakmuran dan keadilan digunakan untuk menjustikasi penguasaan lahan sebagai kawasan hutan serta  penetapan sebagian besar kawasan hutan, terutama di luar Pulau Jawa sebenarnya, tidak sesuai dengan peraturan perundangan.

“Kebohongan tentang kawasan hutan itu terus dihembuskan, bahkan oleh kalangan akademisi, sehingga publik pada umumnya menjadi percaya begitu saja. Banyak orang telah dipenjara akibat kebohongan yang telah dipercaya menjadi kebenaran dan diadopsi menjadi hukum,” kata dia.

Di sisi lain,  kawasan yang dikuasai mencapai dua pertiga tanah Indonesia,  sumbangan terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya kurang dari satu persen.

Baca Juga: Pemerintah dan DPR targetkan pembahasan RUU Pertanahan selesai September ini

“Sangat jauh dari mampu memberi kemakmuran. Apalagi, sekitar 46,6 hingga 47,7 juta ha kawasan hutan yang diklaim tersebut tidak produktif. Artinya, argumen perlindungan ekologi juga jauh panggang dari api dan merupakan pemborosan sumberdaya alam yang luar biasa. “

Saat ini, dari luas izin penggunaan kawasan, hanya kurang dari 5% dinikmati rakyat kecil, sementara lebih dari 50% perusahaan besar pemegang izin tidak aktif dan membiarkan arealnya terlantar. “Terlalu jelas bahwa pemanfaatan lahan berlabel kawasan hutan sangat jauh dari keadilan.”

Pengamat hukum kehutanan dan Lingkungan DR Sadino menambahkan bahwa pembahasan RUU tersebut harus dilanjutkan. “Ada beberapa aturan yang sudah usang dan perlu diperbaharui,.”

Baca Juga: REI: Masyarakat tak perlu khawatir kepemilikan properti WNA dipermudah

Semangat  RUU pertanahan itu adalah memperbaiki pemanfaatan tata ruang.’Kalau KLHK menyebut ruang kritis 20 persen apa hal ini  hanya menjadi bahan pemberitaan saja, tanpa ada solusi.

Menurut Sadino, ahan kritis itu tidak dibiarkan menjadi lahan tidur, padahal ada solusi lain, yakni dimanfaatkan  untuk mencukupi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Apalagi, tantangan yang dihadapi pada masa depan hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi tetapi juga harus mempertimbangkan keberlanjutan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan.

“Tantangan ini bisa dijawab dengan memanfaatkan lahan yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian produktif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×