kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumlah ekonom menilai wacana pembubaran OJK belum tepat, ini argumennya


Minggu, 05 Juli 2020 / 18:53 WIB
Sejumlah ekonom menilai wacana pembubaran OJK belum tepat, ini argumennya
ILUSTRASI. Karyawan memberikan pelayanan usai peresmian kantor baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo di Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, Jumat (19/6/2020). Gedung baru OJK Solo perancangannya menjadi standar gedung OJK di daerah yang menggambarkan nilai visi


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah ekonom menilai pengembalian pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia saat ini belum tepat. Alih-alih mewacanakan rencana tersebut, pemerintah diminta untuk lebih fokus menangani masalah di sektor keuangan dan riil.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah bilang, di tengah situasi pandemi, wacana tersebut justru kontraproduktif. Ketakpuasan pemerintah terhadap kinerja OJK selama pandemi menurut PIter juga tak bisa jadi alasan pembubaran OJK.

Baca Juga: Temui OJK, begini harapan nasabah Minna Padi Asset Manajemen

“Sangat tidak tepat waktunya, di tengah pandemi, mestinya fokus untuk minimalisir dampaknya ke perekonomian. Kinerja OJK sendiri sebenarnya cukup baik, mereka tanggap melonggarkan restrukturisasi dan mampu menahan laju NPL. Kalau soal ketatnya likuiditas, dan pertumbuhan kredit itu tidak bisa disalahkan OJK,” katanya kepada KONTAN, Minggu (5/7).

Sementara Ekonom Indef Bhimas Yudhistira bilang jikalau pemerintah memang bersikeras ingin membubarkan OJK, perlu waktu yang tidak sebentar, dan kajian yang mendalam.

Ia mencontohkan bagaimana lembaga sejenis OJK di Inggris yaitu Financial Service Authority (FSA) yang dinilai gagal menyelamatkan industri perbankan dari krisis 2008, baru dibubarkan pada 2013.

Baca Juga: Dana pensiun akan diramaikan pemain asing

“Kegagalan FSA menyelamatkan perbankan dari krisis 2008 bukan berarti langsung saat itu juga dibubarkan. Baru 5 tahun atau 2013 setelah ada keputusan final FSA dibubarkan dan dibentuk dua lembaga pengawas keuangan yang baru,” ungkapnya.

Memang Bhima mengakui ada sejumlah skandal keuangan yang mesti dihadapi OJK seperti Jiwasraya, Bumiputera, SNP Finance, dan teranyar soal Bank Banten, dan Bank Bukopin.

Namun ia menjelaskan berada dalam pengawasan BI, skandal industri keuangan juga tak luput hadir. BI gagal mengantisipasi perkara Bantuan Likudiitas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998, dan masalah likuiditas Bank Century pada 2008.

Makin banyaknya masalah yang dihadapi OJK dinilai Bhima juga menunjukkan makin kompleksnya industri keuangan kini. Sehingga wacana pembubaran OJK pun disebutnya tak bijak.

“Jika OJK dibubarkan saat krisis ekonomi dan krisis pandemi maka persepsi nasabah dan investor akan memandang kondisi keuangan di Indonesia sudah gawat sampai OJK perlu dibubarkan. Bisa memicu panik di pasar keuangan sekaligus penarikan uang besar besaran akibat ketidakpercayaan masyarakat,” sambungnya.

Baca Juga: Akhirnya berdamai, ini kesepakatan BFI Finance dengan Grup Ongko

Adapun Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Lando Simatupang menyatakan alih-alih membubarkan OJK, meningkatkan peran Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lebih dibutuhkan.

“Kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia, dan mikroprudensial di OJK perlu ditingkatkan secara kolaboratif agar lebih efisien dan efektif. KSSK mesti lebih intensif berkoordinasi, bukan hanya saat terjadi isu krisis saja,” katanya.

Adapun sejumlah bankir yang dihubungi KONTAN juga enggan berkomentar mengenai wacana ini. Diektur PT Bank Maspion Tbk (BMAS) Herman Halim misalnya menilai dua lembaga tersebut memiliki keunggulan masing-masing.

“Saya tidak mau komentar, keduanya punya keunggulannya masing-masing,” ujarnya kepada KONTAN.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×