Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Di tengah upaya pemerintah menggenjot pemasukan pajak, perbankan dianggap masih terlalu pasif memasok informasi terkait obyek berpotensi pajak. Betulkah itu yang terjadi?
"Sudah ada aturan keterbukaan bank, serupa dengan aturan yang diberlakukan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), jika ada transaksi mencurigakan perbankan wajib melapor ke PPATK," papar ekonom Bank Mandiri Destri Damayanti, akhir pekan lalu.
Destri pun mengatakan langkah pelaporan yang sama juga dilakukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Cuma, (keterbukaan yang diminta Ditjen Pajak) ini dasar hukumnya apa?" imbuh dia.
Bila untuk pelaporan ke PPATK dan KPK dapat menggunakan acuan kelaziman transaksi, misalnya ada lonjakan luar biasa nominal transaksi dari tren kebiasaan sebelumnya, maka laporan untuk kebutuhan pajak dinilai tidak sesederhana itu.
Perbankan, kata Destri, selama ini dapat memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis maupun surat-surat nasabah kepada petugas pajak hanya bila ada surat permintaan dari Menteri Keuangan. Semula kewenangan meminta keterangan itu ada di Bank Indonesia tetapi kemudian beralih ke Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut Destri, selama ini keterbukaan perbankan sudah berjalan sebagaimana ketentuan peraturan perundangan. "Pada dasarnya kami mendukung keterbukaan tetapi seberapa jauh? Kalau misalnya nanti dengan gampangnya keterbukaan itu (dijalankan), juga akan mempengaruhi kenyamanan orang menabung," papar dia.
Namun, Destri tak sependapat bila otoritas pajak mudah mengakses data nasabah perbankan maka muncul kekhawatiran orang-orang enggan menempatkan dana di perbankan. Dia juga tak melihat ada potensi dana yang lari ke luar negeri bila hal itu terjadi.
"Kalau uangnya (berasal dari sumber yang) benar, tidak masalah," kata Destri. Namun, aku dia, butuh kesepahaman dari seluruh bank di dunia, selain praktik pengawasan transaksi mencurigakan oleh PPATK.
Penilaian perbankan Indonesia masih pasif terkait upaya optimalisasi pajak, dilontarkan oleh Managing Director Danny Darussalam Tax Center, Darussalam. Dia mengatakan kondisi tersebut jauh berbeda dengan di negara lain.
Dalam diskusi bertajuk "Kerahasiaan Data Nasabah vs Tax Ratio" di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/3/2014), Darussalam memaparkan studi komparasi dari 37 negara, dengan 34 negara di antaranya menegakkan prinsip kerahasiaan perbankan.
Darussalam menyebutkan 20 dari 34 negara memiliki sanksi yang jelas, dengan mayoritas berimplikasi pidana. Kasus pajak bukan perkecualian, terutama di antara 32 dari 37 negara yang secara eksplisit membolehkan permintaan data perbankano leh otoritas pajak.
Di luar 32 negara itu, dua negara yang lain mengizinkan permintaan data perbankan yang diajukan oleh Menteri Keuangan dan 6 negara pun membolehkan permintaan data diajukan menggunakan surat perintah pengadilan. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News