Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Praktik keterbukaan akses data perbankan untuk tujuan perpajakan sebetulnya bukan barang baru di dunia perbankan.
"Jadi ketika Ditjen Pajak berkeluh kesah enggak bisa akses di luar tiga hal (kewenangannya), kalau kita lihat konteks internasional (perpajakan) kita ketinggalan," kata Managing Director Danny Darussalam Tax Center, Darussalam, Selasa (18/3/2014).
Dalam diskusi bertajuk "Kerahasiaan Data Nasabah Vs Tax Ratio" di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Darussalam memaparkan, aspek kerahasiaan bank untuk tujuan perpajakan domestik sedianya telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan perbankan atau melalui peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pasal 41 ayat (1) Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perbankan menyebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia (BI) atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Untuk diketahui ketentuan ini telah beralih kewenangannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (2) UU No.21 tahun 2011 tentang OJK.
Lebih lanjut dia menyebutkan, ketentuan serupa juga termaktub dalam pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan. Dalam ketentuan tersebut ada tiga hal yang bisa diakses pajak dari data nasabah. Pertama, terkait pemeriksaan pajak. Kedua, penagihan pajak, dan ketiga, penyidikan pajak.
"Nah kenapa isu melebar, Ditjen Pajak ingin semuanya dibuka? Ada kekhawatiran (DJP) dalam amandemen UU Perbankan, DPR mempersempit pintu masuk Pasal 41 ayat (1)," terang Darussalam.
Senior advisor Pusat Telah Informasi Regional (PATTIRO), Alamsyah Saragih memandang, UU perpajakan Indonesia sudah sangat ketinggalan jaman. Sementara ada kekhawatiran amandemen UU Perbankan bakal menyempitkan kewenangan otoritas pajak, kebijakan perpajakan sendiri belum diubah sehingga bisa memberikan kewenangan keempat pada Ditjen Pajak.
"Enggak pede revisi UU Perpajakan. Satunya, ragu-ragu menyempitkan. Padahal cukup dibuka di UU Perpajakan saja," ujarnya.
Senada dengan Darussalam, Alam menilai, tax ratio pajak di Indonesia yang hingga saat ini masih bergeming di 12 persen adalah karena ketidakmampuan Kementerian Keuangan sendiri untuk membuat kebijakan yang bisa memberikan kewenangan lebih ke Ditjen Pajak.
"Masalahnya ada di Ditjen Pajak sendiri. Kita harus bergeser dari revisi UU Perbankan, ke revisi UU Perpajakan," kata Alam. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News