Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ekonomi bawah tanah alias underground economy di Indonesia diperkirakan memiliki potensi penerimaan pajak sangat besar.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan, jika sektor tersebut berhasil dibenahi dan dikenakan pajak, maka kontribusinya terhadap pendapatan negara bisa mencapai angka yang fantastis.
"Underground economy sebenarnya sangat besar. Jika benar-benar mau narik pajak, bisa sangat besar," ujar Raden kepada Kontan.co.id, Kamis (14/11).
Menurutnya, ekonomi bawah tanah termasuk juga transaksi ilegal. Namun dari sisi perpajakan, seluruh penghasilan meskipun berasal dari kegiatan ilegal tetap dapat dikenakan pajak penghasilan (PPh).
"Masalahnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berani enggak? Nanti pasti ada kesan pemerintah akhirnya melegalkan judi online misalya," katanya.
Baca Juga: Terkait Underground Economy, Begini Penjelasan Sri Mulyani
Raden menambahkan potensi pajak dari sektor judi online sangat besar. Dari perhitungannya, potensi penerimaan pajaknya bisa mencapai Rp 100 triliun dengan asumsi perputaran uang judi online yang mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun.
"Dan judi online sudah pasti dinikmati wajib pajak orang pribadi, sehingga dikenai tarif PPh Orang Pribadi hingga 35%," imbuh Raden.
Selain itu, transaksi narkoba juga memberikan potensi pajak yang tidak kalah besar. Sebagai contoh, penghasilan dari bisnis narkoba, seperti yang dikendalikan oleh sindikat Fredy Pratama bisa mencapai sekitar Rp 59 triliun, yang jika dikenakan pajak dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp 35 triliun.
Namun, Raden juga menyebutkan, banyak sektor underground economy yang belum dilaporkan atau dikenai pajak, salah satunya adalah tambang ilegal.
Meskipun potensi pendapatan dari tambang ilegal bisa mencapai puluhan triliun rupiah, banyak pelaku usaha enggan melaporkan penghasilannya lantaran takut dengan kemungkinan sanksi pidana.
Selain sektor ilegal, ekonomi tradisional yang berbasis transaksi tunai, seperti pedagang pasar, juga memiliki potensi besar untuk dikenakan pajak. Meskipun banyak di antara mereka yang tidak wajib membayar PPh karena skala usaha mereka kecil, beberapa pedagang pasar tradisional sering kali memiliki omset yang sangat besar.
Sayangnya, selama ini, kantor pajak kesulitan mengakses data yang akurat tentang transaksi mereka.
Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mewajibkan setiap faktur pajak mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Baca Juga: Tugas Baru Wamenkeu Anggito Abimanyu: Kejar Potensi Pajak dari Aktivitas Ilegal
Dengan adanya kewajiban ini, alur pergerakan barang dari produsen hingga konsumen dapat lebih mudah dipantau oleh pihak pajak, sehingga celah bagi praktik pajak yang tidak tercatat dapat diminimalkan.
"Kalau melihat tax ratio yang sekarang, seharusnya pengawasan terhadap underground economy pengusaha tradisional dapat meningkatkan tax ratio sekitar 2%," imbuh Raden.
Raden juga menyarankan agar Ditjen Pajak memiliki kemampuan analisis transaksi keuangan, serupa dengan yang dimiliki oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dengan demikian, peta potensi pajak dari ekonomi bawah tanah bisa lebih jelas tergambar dan dimaksimalkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News