Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Rumah tapak subsidi bakal tinggal kenangan. Kok, bisa? Ya, mulai 1 April 2015 nanti, pemerintah akan menghentikan program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Sejahtera Tapak dengan dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Kebijakan yang mengejutkan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 3 Tahun 2014 tentang FLPP dalam Rangka Pengadaan Perumahan melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera.
Pasal 12 ayat (1) beleid yang berlaku mulai 2 Mei ini menyebutkan, penerbitan KPR Sejahtera Tapak oleh bank pelaksana hanya bisa dilakukan sampai 31 Maret 2015. Itu berarti, pencabutan subsidi rumah tapak efektif per 1 April tahun depan. “Ada masa transisi setahun agar masyarakat siap dan tidak kaget,” kata Sri Hartoyo, Direktur Pembiayaan Perumahan Kementerian Perumahan (Kempera).
Tapi, bukan berarti pemerintah menghapus program subsidi pemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, lo. Sebab, program KPR Sejahtera Susun untuk kepemilikan rumah susun (rusun) dengan dukungan FLPP tetap ada. Tahun ini anggaran FLPP mencapai Rp 4,49 triliun untuk membiayai penyaluran KPR Sejahtera sebanyak 57.792 unit rumah tapak dan rusun. “Rencananya tahun depan lebih besar lagi,” ujar Hartoyo.
Menurut Hartoyo, salah satu pertimbangan pemerintah mencoret program rumah tapak subsidi yang populer dengan sebutan rumah sederhana sehat (RSh) adalah, rata-rata lokasi perumahannya jauh dari pusat kota dan tempat kerja. Tentu, kondisi ini memberatkan masyarakat dengan pendapatan pas-pasan. Soalnya, mereka harus mengeluarkan ongkos transportasi yang lebih besar menuju tempat kerjanya.
Harga tanah yang mahal menjadi kendala utama membangun rumah tapak subsidi di kota-kota besar. Sebab, pemerintah mematok harga jual rumah tapak subsidi. Di Jakarta, misalnya, paling mahal harganya tidak boleh lebih dari Rp 135 juta per unit. La, zaman sekarang mana ada rumah seharga itu di Ibukota Indonesia?
Makanya, pemerintah menghapus program rumah tapak subsidi dan mendorong pembangunan rusun subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang masih mungkin di bangun di kota-kota besar seperti Jakarta. Dan pastinya, tidak butuh lahan yang luas untuk pembangunannya.
Sama halnya rumah tapak subsidi, pemerintah juga menetapkan harga jual rusun subsidi. Ambil contoh, yang berlokasi di Jakarta Pusat harga jualnya paling mahal Rp 334,4 juta per unit, lalu di Jakarta Selatan Rp 331,2 juta per unit.
Nah, untuk menarik minat pembeli hunian jangkung bersubsidi, pemerintah mengerek batas atas penghasilan calon pembeli. Sebelumnya, yang berhak membeli rusun subsidi harus pekerja formal dan informal dengan gaji maksimal Rp 5,5 juta per bulan. Sekarang, yang memiliki pendapatan hingga Rp 7 juta sebulan bisa membeli apartemen bersubsidi.
Pengembang protes
Cuma, langkah pemerintah mencabut subsidi rumah tapak mendapat protes keras dari Asosiasi Perumahan dan Permukiman Indonesia (Apersi). Eddy Ganefo, Ketua Umum Apersi, bilang, kebijakan itu berdampak kepada kelangsungan bisnis pengembang yang menjadi anggota Apersi.
Dari 1.000 anggota Apersi yang aktif, hampir 90% menggarap rumah tapak subsidi. Pencabutan subsidi rumah tapak tentu memperparah bisnis mereka. Sebab, sebelumnya usaha pengembang rumah tapak subsidi sudah terpukul oleh kebijakan pemerintah yang mengharuskan luas RSh minimal ialah 36 meter persegi.
Eddy menegaskan, harga tanah di perkotaan yang mahal dan penyerapan rumah tapak subsidi yang rendah bukan alasan kuat untuk mencabut subsidi RSh. Sebaliknya, kebijakan ini malah bisa menambah kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal (backlog) di Indonesia yang saat ini mencapai 15 juta rumah.
Lagi pula, pengalihan subsidi dari rumah tapak ke rusun belum tentu efektif. Pasalnya, masyarakat berpenghasilan rendah belum tentu mampu membeli rusun yang harganya di kisaran Rp 200 juta per unit. Sedang rumah tapak hanya sekitar Rp 100 juta bahkan masih ada pengembang yang menawarkan di bawah Rp 100 juta. “Dari mana menutup selisihnya? Tidak mungkin semua ditutup subsidi,” tegas Eddy.
Solusi untuk menyelesaikan masalah perumahan di perkotaan, Eddy menegaskan, adalah pembenahan tata ruang wilayah, bukan menghapus subsidi rumah tapak. Dan sebetulnya, problem rumah tapak murah hanya ada di kota-kota besar semacam Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Surabaya. Makanya, lokasinya jauh dari pusat kota. Tapi, di kota-kota kecil, lokasi perumahan subsidi justru tak jauh dari pusat kota. Sebab, masih tersedia banyak lahan dan harga tanahnya enggak mahal-mahal amat.
Tambah lagi, kawasan industri saat ini menjauh dari pusat kota, seperti di Cikarang dan Karawang. Di daerah itu masih banyak pengembang yang menawarkan rumah tapak subsidi dengan harga di bawah Rp 90 juta. Sebut saja, Grand Pertama Kosambi, Karawang, menjual rumah subsidi seharga Rp 88 juta per unit, lalu Kota Serang Baru Cikarang melego rumah bersubsidi Rp 95 juta.
Tawaran ini jelas sangat menarik untuk para buruh yang bekerja di kawasan industri di Cikarang dan Karawang. Terlebih, mereka bisa memiliki rumah sederhana dengan cicilan rendah dan bunga tetap sebesar 7,25% selama 20 tahun.
Penolakan juga datang dari Real Estate Indonesia (REI). Alasannya: pertama, banyak daerah yang tidak punya peraturan daerah tentang rusun. Kedua, menambah angka backlog rumah. “Masyarakat di daerah makin sulit mengakses rumah murah,” tegas Setyo Maharso, Ketua Umum REI.
Belum lagi soal rusun subsidi yang salah sasaran. Kebanyakan pembelinya justru orang berduit dan para spekulan yang ingin menjual lagi unit rusun subsidi. Tapi, pemerintah sudah menyiapkan jurus agar rusun subsidi tepat sasaran.
Caranya, dengan membentuk Badan Pelaksana Perumahan. “Badan ini juga akan berperan mengendalikan harga rumah susun subsidi agar tetap terjangkau masyarakat kecil,” kata Hartoyo.
Soal kesenjangan permintaan dan kebutuhan hunian, Hartoyo menambahkan, penghapusan subsidi rumah tapak tidak akan menambah angka backlog. “Pengembang, kan, tetap bangun rumah non-subsidi sesuai permintaan pasar,” kilahnya.
Meski begitu, Apersi dan REI tetap meminta pemerintah mengkaji keputusan menghapus subsidi rumah tapak. “Masyarakat, kan, masih membutuhkan rumah tapak murah,” imbuh Setyo. Setuju!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News