kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.543.000   4.000   0,26%
  • USD/IDR 15.859   -119,00   -0,76%
  • IDX 7.480   -12,39   -0,17%
  • KOMPAS100 1.157   -2,04   -0,18%
  • LQ45 916   -3,97   -0,43%
  • ISSI 227   0,79   0,35%
  • IDX30 471   -3,31   -0,70%
  • IDXHIDIV20 569   -3,84   -0,67%
  • IDX80 132   -0,21   -0,16%
  • IDXV30 141   0,37   0,27%
  • IDXQ30 157   -0,79   -0,50%

Saatnya ekonomi kreatif unjuk gigi


Kamis, 08 November 2018 / 22:26 WIB
Saatnya ekonomi kreatif unjuk gigi
ILUSTRASI. Pembukaan Konferensi Internasional Ekonomi Kreatif


Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dari semula tak begitu dilirik, kini ekonomi kreatif semakin menunjukkan taring. Dari tahun ke tahun, kontribusinya terhadap perekonomian nasional semakin terlihat. Tahun 2017 saja, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatat, sumbangan industri kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2017 mencapai Rp 1.009 triliun.

Ini artinya, ada tambahan sekitar Rp 70 triliun sampai Rp 80 triliun dari PDB industri ini pada 2016, yang tercatat Rp 922 triliun. Adapun di 2015, sumbangannya mencapai Rp 852 triliun. Sementara kontribusinya hingga akhir 2018 bakal lebih dari Rp 1.000 triliun. “Saya yakin, ke depan sektor ekonomi kreatif akan terus tumbuh konsisten,” kata Ricky J. Pesik, Wakil Kepala Bekraf.

Dari 16 subsektor industri kreatif, kuliner, kriya, dan mode memberikan kontribusi terbesar pada ekonomi kreatif. Sub-sektor kuliner tercatat berkontribusi mencapai 41,69%, kemudian fashion sebanyak 18,15%, dan kriya sebesar 15,70%. “Masih ada empat subsektor yang juga sangat potensial menjadi kekuatan ekonomi baru seperti film, musik, art, dan game (gim),” imbuh Ricky.

Empat subsektor ini terlihat mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Industri film bertumbuh sekitar 10,28%, musik meningkat 7,26%, art atau arsitektur tumbuh 6,62%, dan gim tumbuh sekitar 6,68%.

Melihat kinerjanya yang mencorong, tak heran posisi dan peran ekonomi kreatif sekarang semakin diakui. Setidaknya, pengakuan itu tampak pada Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ekonomi Kreatif yang kini sedang dibahas pemerintah dengan DPR.

Sebelumnya, RUU Ekonomi Kreatif telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015–2019. Saat ini, Komisi X DPR telah menelaah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU itu yang dibuat oleh pemerintah.

Hasilnya, Komisi X dan pemerintah yang diwakili Kementerian Perdagangan (Kemdag) menyepakati jumlah DIM yang menjadi acuan dalam pembahasan RUU Ekonomi Kreatif.  “RUU Ekonomi Kreatif telah menjadi Prolegnas prioritas tahun 2018, jadi Desember harus selesai,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Djoko Udjianto.

Langkah DPR menggenjot RUU tersebut melihat urgensi ekonomi kreatif. Djoko bilang, saat ini ekonomi kreatif telah berkembang secara signifikan di berbagai negara.

Bahkan, ekonomi kreatif pun bisa menopang pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Hadirnya RUU Ekonomi Kreatif diharapkan dapat menjadi stimulus dalam perkembangan industri ini di Indonesia. Perkembangan tersebut juga akan meningkatkan lapangan kerja baru dan iklim usaha kreatif, kondusif, dan berdaya siang global.

Selain itu, RUU Ekonomi Kreatif juga dibutuhkan untuk bisa mengatasi masalah perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia. “Terdapat masalah dalam pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia, utamanya ekosistem,” ujar Djoko.

Kelak, beleid ini memang akan menjadi payung hukum bagi pengembangan ekonomi kreatif. Alhasil, posisi para pelaku dan pebisnis ekonomi kreatif lebih jelas, pengembangannya pun lebih terarah.

Bentuk kementerian

Banyak terobosan penting dalam bakal calon undang-undang yang terdiri dari 10 bab dan 47 pasal tersebut. Misalnya, menitahkan pembentukan kementerian bidang ekonomi kreatif paling lambat dua tahun setelah beleid ini diundangkan. “Lebih besar yang bisa dilakukan Bekraf bila menjadi kementerian,” ungkap Ricky.

Selama ini, masalah kelembagaan menjadi salah satu hambatan Bekraf dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Bekraf tidak bisa membuat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Hal itu jelas membuat pemerintah daerah (pemda) tidak dapat membiayai industri ini melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bila terdapat unit kerja Bekraf di wilayah tersebut.

Sementara dana pengembangan yang dimiliki Bekraf terbatas. Kondisi ini membuat Bekraf kesulitan menjangkau pelaku usaha di daerah. Padahal, potensi ekonomi kreatif banyak berasal dari daerah-daerah, dan selama ini mereka cenderung jalan sendiri-sendiri. Nah, ide-ide ekonomi kreatif justru banyak berasal daru mereka yang ada di daerah.

“Jadi, tidak semua pelaku ekonomi kreatif dari kota besar,” imbuh Ricky.

Tapi yang menjadi persoalan, setiap daerah memiliki kebijakannya masing-masing, sektor mana yang ditonjolkan, didukung, dan dikembangkan. Hal itu sangat bergantung pada pelaku yang ada di daerah atau kota setempat, dan peran pemerintah yang dapat memahami serta mendukungnya. “Jika pemerintah di daerah tidak berkomitmen untuk mendukung atau pun menganggarkan, saya kira akan susah bagi pelaku industri kreatif setempat untuk berkembang,” tegas Ricky.

Oleh karena itu, Ricky bilang, perlu ada aturan yang membuat Bekraf bisa membuat perwakilan di daerah. Hal itu dibutuhkan oleh Bekraf kalau tidak berubah status menjadi kementerian. “Kalau tidak menjadi kementerian, dibuat badan yang setingkat kementerian tetapi punya undang-undang yang mendasari sehingga bisa membentuk perwakilan,” pinta Ricky.

Selain memperkuat kelembagaan Bekraf, RUU Ekonomi Kreatif juga memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyediakan infrastruktur penopang ekonomi kreatif. Salah satu bentuknya: penyediaan Rumah Kreatif di berbagai wilayah sebagai wadah pengembangan sumber daya manusia (SDM) ekonomi kreatif.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk memberikan insentif bidang perpajakan bagi pelaku ekonomi kreatif. Misalnya, pemberian fasilitas pajak daerah berupa keringanan pajak hiburan, pajak reklame, dan pajak lainnya atas jasa atau produk ekonomi kreatif yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi kreatif. “Pemerintah juga dapat memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana prasarana, dan insentif yang lain,” tambah Djoko.

Selain insentif, pemerintah juga diminta menyiapkan pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif, baik melalui perbankan maupun non-bank. Bahkan, pemerintah juga bisa mencarikan bantuan dana dari luar negeri atau sumber pembiayaan lainnya yang sah untuk pengembangan ekonomi kreatif.

Calon beleid tersebut juga mengintruksikan pemerintah untuk ikut mempromosikan produk-produk ekonomi kreatif lewat berbagai cara. Mulai menggelar pameran hingga pemberitaan media massa.

Jenis kegiatan ekonomi kreatif juga turut ditentukan. Di antaranya terdiri atas ekonomi kreatif berbasis warisan budaya, ekonomi kreatif berbasis seni, ekonomi kreatif berbasis media, dan ekonomi kreatif berbasis kreasi fungsional.

Dari ruang lingkup tersebut, hampir semua produk ekonomi kreatif kini diakomodir dalam RUU Ekonomi Kreatif. Bahkan, beberapa produk yang sebelumnya tidak tertampung, kini masuk jadi salah satu industri kreatif yang terdapat dalam RUU, seperti informatika dan komputer serta animasi.

Pembahasan RUU Ekonomi Kreatif sendiri akan melibatkan banyak kementerian dan lembaga (K/L). Sebab, industri kreatif melingkupi banyak sektor. Contohnya, kuliner yang berada di bawah pengembangan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Kepala Bekraf Triawan Munaf berharap, RUU Ekonomi Kreatif sudah bisa disahkan pada akhir tahun ini atau selambatnya awal tahun depan. Pasalnya, proses di DPR diakuinya berjalan dengan mulus. “RUU ini sudah mulai dibahas dan tidak ada hambatan-hambatan semuanya mulus,” kata Triawan. Maka dia berharap, dengan adanya fondasi hukum, ekonomi kreatif akan berkembang dan maju lebih kuat.

Kehadiran RUU tersebut tentu disambut positif kalangan pelaku industri ekonomi kreatif. “Kami menyambut positif, ada pasar yang bisa kami garap,” ujar Adrian Elkana, Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Kreatif Indonesia (Ainaki).

Adrian mengungkapkan, animasi Indonesia masih kalah saing dengan animasi impor. Salah satu yang membuat animasi karya anak bangsa kalah dari produk luar negeri adalah biaya. Biaya produksi animasi di negara kita masih jauh di atas pembelian animasi impor.

Adrian pun mendorong pemerintah meniru gaya China dalam mengembangkan industri animasi. Menurutnya, China menerapkan kewajiban untuk memutar animasi lokal.

Selain itu, pengadaan lomba untuk animasi pun bisa menjadi solusi atas biaya produksi animasi. Nantinya, para pemenang lomba akan dibiayai produksinya oleh pemerintah.

Tidak berhenti sampai di situ, akses pembiayaan juga penting untuk mengembangkan industri kreatif. “Sekarang, kalau kami mau mendapat bantuan permodalan harus memenuhi persyaratan bank,” sebut Adrian.

Harapannya, kelahiran RUU Ekonomi Kreatif bisa menjawab semua masalah yang masih membelit industri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×