Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang - Undang (RUU) Perlindungan Konsumen mulai dilakukan pembahasan oleh DPR.
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul mengusulkan agar dalam penyusunan RUU Perlindungan Konsumen nanti ada muatan substansi tentang sanksi pidana.
Ia mengatakan, hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat umum, sepenuhnya sebagai hukum bisnis. Dengan kata lain, hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat publik.
Meski transaksi dalam perdagangan bersifat privat yang seolah hanya berkaitan dengan persoalan perdata, namun transaksi tersebut memiliki nilai-nilai publik. Sehingga, ia merasa, sanksi pidana menjadi penting dalam perlindungan konsumen.
Baca Juga: YLKI Dorong Revisi UU Perlindungan Konsumen Segera Dibahas
Dalam praktik di beberapa negara, menurutnya, menggunakan sanksi pidana lebih efektif karena perusahaan atau pelaku usaha takut jika namanya tercemar karena kasus pidana. Terlebih, hal ini juga akan mempengaruhi bisnisnya.
"Jadi, memang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap akan ada sanksi pidana. Tapi, formulasinya bagaimana dikombinasikan dengan sanksi administrasi itu akan dilakukan dan tetap ada," kata Inosentius dalam keterangannya, Senin (16/1).
Ia menambahkan, hukum Perlindungan Konsumen Indonesia juga belum menerapkan unsur tanggung jawab mutlak (strict liability). Sedangkan, negara-negara lain sudah menerapkan itu. Ia menilai, UU KUHP sudah mulai mengadopsi wacana itu.
"Saya merasa dukungan yang kuat kemarin ketika UU KUHP itu sudah mengadopsi itu. Jadi, tidak ada keraguan lagi. Perdata oke, pidana oke. Jadi, berjalan selaras," ujarnya.
Baca Juga: Ini Rincian RUU Prolegnas Prioritas yang Dibahas Tahun 2023
Ia menegaskan, agar UU Perlindungan Konsumen nantinya harus lebih disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Ia menilai, substansi Undang-Undang Perlindungan Konsumen memang sudah banyak yang ketinggalan. Baik itu ukuran kebutuhannya, standar hukum secara nasional maupun secara internasional. Terlebih, jika dibandingkan negara-negara lain.
"Kalau kita bandingkan dengan negara lain, norma hukum perlindungan perlindungan konsumen kita sudah banyak ketinggalan," kata Ia.
Padahal, ia mengingatkan, manusia Indonesia tidak berbeda jauh dari konsumen negara-negara lain. Karenanya, ia merasa, harus diperbaiki standar kualitas agar lebih memanusiakan masyarakat, termasuk dalam UU Perlindungan Konsumen.
Baca Juga: Masuk RUU PPSK, Sri Mulyani: Penjaminan Polis Penting bagi Penyehatan Asuransi
"Belum lagi soal doktrin-doktrin yang akan kita kembangkan dalam standar nasional untuk ada pembaruan," ujar Sensi.
Untuk itu, ia berharap dalam penyusunan Naskah Akademik dan RUU, kesempatan ini betul betul dimanfaatkan untuk mencatat masukan-masukan dari masyarakat.
Ia juga berharap agar dalam penyusunan ini ada pengawalan bersama mulai dari persiapan naskah akademik sampai pada pembahasan di komisi dengan pemerintah nanti. Artinya, tidak berhenti hari ini, tapi terus bergulir kepada proses penyiapan naskah akademik sampai ke proses pembahasan di DPR RI nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News