Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong agar revisi UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) segera dibahas. Hal ini agar substansi UU tersebut dapat menyesuaikan perlindungan konsumen di era saat ini.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, dari sisi rentang waktu, UU Perlindungan Konsumen sudah berusia 21 tahun. Artinya sudah banyak ketinggalan dengan isu-isu aktual di bidang perlindungan konsumen. Seperti masalah konsumen di era digital dan perlindungan data pribadi.
Menurut Tulus, revisi UU Perlindungan Konsumen perlu mengatur terkait upaya penguatan kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Serta perlunya harmanisasi dengan UU sektoral lainnya.
Baca Juga: YLKI Usul Adanya Perlindungan bagi Konsumen Maupun Pelaku Usaha Digital
“Itu semua belum diatur dalam UU Perlindungan Konsumen,” kata Tulus kepada Kontan.co.id, Minggu (28/8).
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan, Pemerintah mengusulkan 4 rancangan undang-undang (RUU) yang saat ini berada dalam daftar tunggu (waiting list) dengan tetap mempertimbangkan kesiapan dan kebutuhannya untuk dimasukkan daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2022 perubahan. Salah satu yang diusulkan adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Menurut Yasonna, kebutuhan perubahan terhadap UU Perlindungan Konsumen masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2022 sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 85 tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah tahun 2022.
Revisi UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendesak dilakukan di tengah populernya kegiatan transaksi keuangan digital oleh masyarakat.
Baca Juga: YLKI Dukung RUU Perlindungan Konsumen Masuk Prolegnas Tahun Ini
“Revisi ini perlu mencakup peran pihak ketiga yang berperan sebagai penghubung antara penjual dan konsumen, seperti e-commerce dalam penyelesaian sengketa,” ujar Yasonna.
Selain belum diakuinya pihak ketiga dalam UU ini, aturan-aturan yang ada saat ini belum selaras dalam hal mekanisme ganti rugi dan pelaporan. Sehingga diperlukan revisi agar konsumen tidak bingung dan sekaligus untuk memperjelas tanggung jawab kementerian/lembaga terkait.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News