Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Internet sudah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan dalam aktivitas sehari-hari. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna Internet di Indonesia sudah menembus angka 171 juta tahun 2018, naik 10,2 % dari tahun sebelumnya.
Namun, menurut Anggota Pansus RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Bobby Adhityo Rizaldi, meski melalui dunia siber banyak kepentingan yang nasional yang harus dijaga, aturan formil terkait jaminan penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber belum ada di Indonesia.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi partai Golkar ini mengatakan salah satu sebab DPR menginisiasi Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber karena legislator melihat salah satu ancaman baru yang disebutkan dalam Rancangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (RUU PSDN), yang tidak didefinisikan dalam Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
"Yaitu dimasukkan adanya ancaman perang Hibrida. Perang hibrida salah satunya di situ adalah perang siber. Nah, siber itu siapa yang mengonsolidasikan, siapa leading sector-nya, apakah di matra masing- masing, apakah di kepolisian atau ada badan lain yang mengoordinasikan, nah inilah yang nanti akan disinkronisasikan dalam RUU KKS ini," kata Bobby dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema 'Nasionalisme dibalik RUU KKS' di Media Center MPR/DPR RI, Selasa (24/9).
Baca Juga: Fortinet: Serangan siber banyak menyasar objek vital
"Oleh karenanya, terhadap kebutuhan tantangan zaman yang memang berbeda, DPR menginisiasi adanya RUU ini," ujar legislator, yang juga terpilih kembali menjadi anggota DPR 2019-2024 dari partai Golkar.
UU PSDN sendiri telah disetujui DPR RI dan pemerintah untuk segera disahkan menjadi Undang -Undang dalam paripurna terdekat.
Bobby menjelaskan RUU KKS masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada 2018 yang pembuatan naskah akademisnya dikerjakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Di bulan Mei 2019 RUU KKS ditetapkan sebagai inisiatif Baleg.
Namun, kata Bobby karena partai politik disibukkan oleh persiapan menghadapi Pemilu 2019, maka draft RUU KKS baru bisa diselesaikan baru-baru saja.
"Karena waktu yang sangat sempit ini, maka pansus (panitia khusus) dibentuk, baru minggu lalu terpilih. Ketuanya pak Bambang Wuryanto dari PDIP. Saya sendiri, dari komisi I masuk menjadi anggota pansus dan rencananya mulai dari kemarin itu harusnya kita rapat untuk menerima penjelasan dari pemerintah dan menerima DIM [Daftar Inventarisasi Masalah]," kata Bobby.
Baca Juga: Ini penjelasan soal Kudo, layanan milik Grab yang digunakan untuk membobol Bank
Hal tersebut adalah salah satu syarat untuk carry-over (meneruskan) RUU yang belum selesai pembahasannya pada periode DPR RI saat ini ke anggota DPR periode berikutnya. Persyaratan ini tertuang dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan yang revisinya baru disetujui pada rapat paripurna DPR RI, Selasa ini.
Menurut Bobby, DPR hanya memiliki waktu Rabu atau Kamis untuk melakukan rapat bersama pemerintah. "Kami harapkan pada saat rapat dengan pemerintah, sekaligus DIM diserahkan kepada DPR RI, sehingga RUU KKS dapat dilanjutkan untuk dibahas dengan DPR RI 2019-2024," ujarnya.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 akan mengakhiri masa jabatannya pada 30 September 2019.
Akademisi dari Universitas Bhayangkara Dr. Awaluddin Marwan, yang juga merupakan pembicara pada acara diskusi di Media Center MPR/DPR RI, Selasa, mengapresiasi inisiatif DPR terkait RUU KKS.
Baca Juga: Nasabahnya kena skimming Rp 80 juta, BRI berikan tips transaksi yang aman
“Patut diapresiasi karena UU KKS ini sangat urgent. Beberapa hari lalu kita melihat situs Kemendagri [Kementrian Dalam Negeri] di hack oleh hacker security 007. Itu membuktikan bahwa keamanan siber itu perlu diperkuat karena kalau tampilannya sudah dirubah (de-facing), itu secara otomatis mengurangi citra lembaga. Mereka bisa merusak, men-cloning dan bisa memperjual belikan data, apalagi di sana ada E-KTP," ujarnya.
Pembicara lainnya Andi Budimansyah, Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia, juga mengapresiasi kepedulian DPR RI terhadap lembaga yang terkait dunia siber.
Anggota FTII -- yang merupakan organisasi yang dibentuk oleh masyarakat teknologi dan beranggotakan asosiasi yang terkait dengan teknologi informasi -- sangat membutuhkan regulasi yang mengatur soal keamanan dan ketahanan siber.
"Saat ini Indonesia baru memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tapi belum ada yang mengatur keamanan dan ketahanan siber," ujarnya.
Baca Juga: Waspadalah, kejahatan siber masih mengancam nasabah bank
Namun, Andi mengingatkan RUU KKS masih memerlukan masukan dari berbagai stakeholder yakni masyarakat siber untuk memperkaya dan lebih menyempurnakan.
"Jangan sampai pada saat RUU KKS diundangkan masih terjadi tumpang tindih aturan dengan undang-undang lain serta adanya tumpang tindih kewenangan dengan instansi lainnya," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News