kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.937.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.444   90,00   0,55%
  • IDX 6.969   -139,15   -1,96%
  • KOMPAS100 1.011   -24,78   -2,39%
  • LQ45 775   -17,94   -2,26%
  • ISSI 227   -4,16   -1,80%
  • IDX30 402   -10,37   -2,52%
  • IDXHIDIV20 472   -11,39   -2,36%
  • IDX80 114   -2,57   -2,21%
  • IDXV30 116   -2,17   -1,83%
  • IDXQ30 130   -2,94   -2,22%

Defisit Anggaran Indonesia Hadapi Tantangan di Tengah Pembiayaan Utang yang Meningkat


Kamis, 19 Juni 2025 / 18:14 WIB
Defisit Anggaran Indonesia Hadapi Tantangan di Tengah Pembiayaan Utang yang Meningkat
ILUSTRASI. Suasana transaksi Surat Berharga Negara (SBN) di bagian treasury Bank Syariah Indonesia, Jakarta, Kamis (15/5/2025). Utang luar negeri pemerintah kuartal I/2025 tercatat menyentuh US$ 206,9 miliar atau setara Rp 3.427,5 triliun dengan asumsi kurs JISDOR akhir Maret 2025 senilai Rp 16.566 per dolar AS. Utang tersebut meningkat 7,6% secara tahunan, dipengaruhi oleh penarikan pinjaman dan peningkatan aliran masuk modal asing pada SBN internasional. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kondisi defisit anggaran Indonesia sampai Mei 2025 menunjukkan ketidakstabilan, dengan klaim mengenai pengendalian defisit yang diragukan. Meski defisit tercatat sebesar Rp21 triliun, penurunan belanja negara dan pendapatan menunjukkan adanya tantangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, pembiayaan utang yang telah mencapai Rp349,3 triliun menimbulkan kekhawatiran tentang efek jangka panjang bagi perekonomian.

Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa defisit anggaran dapat dikendalikan hanya sebesar Rp21 triliun dan masih sejalan dengan rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebesar Rp616,2 triliun.

Namun, Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute, menilai bahwa kinerja defisit tersbut lebih dipengaruhi oleh penurunan belanja yang mengimbangi penurunan pendapatan. Belanja negara menunjukkan kontraksi mencapai 11,26%, sedangkan pendapatan negara terkontraksi sebesar 11,41%.

“Penurunan belanja dalam kondisi pendapatan yang demikian bisa dikatakan cukup baik,” ujar Awalil dalam keterangan resmi yang dikutip oleh Kontan.co.id, Kamis (19/6).

Awalil menjelaskan bahwa klaim tentang ekspansif dan shock absorber terlihat berlebihan. Penurunan belanja menunjukkan kurangnya kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan, yang terlihat dari menurunnya laju pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2025.

Baca Juga: Utang Luar Negeri Pemerintah Capai US$ 208 Miliar, Jepang Kreditur Terbesar

Dengan perhitungan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025, kontribusi dari konsumsi pemerintah tercatat -0,08% poin dari total pertumbuhan yang sebesar 4,87%. Secara tahunan, laju pertumbuhannya juga terkontraksi 1,38% year on year (YoY), menjadikannya sebagai satu-satunya komponen pengeluaran dalam Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengalami kontraksi.

Konsumsi pemerintah tidak hanya berasal dari APBN, namun juga dari lembaga negara lain serta Anggaran PEndapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana APBN memberikan porsi terbesar.

Awalil mencatat bawa meski belanja modal menunjukkan peningkatan yang signifikan pada bulan Mei dibandingkan dengan April 2025, secara kumulatif dalam lima bulan tetap tercatat kontraksi dibandingkan tahun 2024.

Ia menekankan bahwa tidak adanya keputusan dan pengumuman resmi mengenai kebijiakan efisiensi anggaran menunjukkan bahwa kontraksi belanja negara dan komponen-komponennya titdak mencerminkan upaya efisiensi yang nyata.

“Bisa dikatakan lebih karena pemblokiran atas berbagai rencana belanja, dibanding realokasi baru yang resmi,” jelas Awalil.

Ketidakpastian dalam alokasi belanja ini berdampak terhadap dinamika ekonomi, terutama bagi para pelaku yang bekerja sama dengan pemerintah. Awalil menegaskan bahwa situasi ini akan mempengaruhi realisasi belanja hingga 31 Mei 2025, sehingga klaim mengenai belanja yang ekspansif, terukur, dan terarah terasa sangat berlebihan.

Meski defisit hanya sebesar Rp21 triliun, pembiayaan utang telah mencapai Rp349,3 triliun, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Dari segi persentase, Awalil mencatat bahwa kinerja pembiayaan utang mencapai 45,02% dari target tahunan sebesar Rp775,87 triliun, yang merupakan persentase tertinggi dalam kurun waktu yang sama di tahun-tahun sebelumnya. Ia juga menekankan bahwa pemerintah telah berutang jauh lebih banyak melebihi kebutuhan untuk menutupi defisit.

Baca Juga: Utang Jatuh Tempo Juni 2025 Bernilai Jumbo, Pemerintah Pastikan Bayar Tepat Waktu

“Dalam berbagai kesempatan, Kemenkeu menjelaskannya sebagai strategi front loading dan diklaim memenuhi target pembiayaan secara on track,” kata Awalil.

Namun, Awalil mengingatkan bahwa biaya utang selama beberapa bulan terakhir tahun 2025 ini terbilang lebih tinggi daripada biasanya, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) selalu berada di atas rata-rata historisnya. Pemerintah memaksa untuk berutang lebih banyak dan lebih cepat, yang menunjukkan ekspektasi bahwa bulan-bulan mendatang akan lebih buruk.

Awalil juga menegaskan bahwa pembiayaan utang yang diinformasikan merupakan nilai neto, setelah memperhitungkan utang pokok yang jatuh tempo.

Penarikan utang baru lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan utang, dan Kemenkeu belum menjelaskan secara rinci jumlahnya. Menurut Awalil, sumber terbesarnya adalah penerbitan SBN, dimana porsi terbesar adalah yang berdenominasi rupiah atau SBN domestik.

Awalil menjelaskan bahwa kepemilikan asing atas SBN domestik yang diperdagangkan hingga akhir Mei tercatat sebesar 14,56%, yang hampir sama dengan angka pada akhir Desember 2024 yang mencapai 14,52%. Kepemilikan domestik, termasuk Bank Indonesia (BI) dan bank-bank umum lainnya adalah yang utama.

“Artinya, sumber pembiayaan utang pemerintah yang terbesar adalah dari dalam negeri,” tegas Awalil.

Pengeluaran yang dilakukan oleh pemerinmtah memang diperlukan, dan bisa saja sebagian dibiayai melalui utang. Namun, apabila utang tersebut sudah melebihi batas tertentu dan menghalangi pembiayaan swasta, hal ini bisa dikatakan crowding out.

“Apabila jika ternyata pengeluaran pemerintah itu tidak efektif, maka jelas tidak bisa diklaim sebagai APBN yang ekspansif,” ucap Awalil.

Baca Juga: Penarikan Utang Baru Pemerintah Melonjak, Capai Rp 349,3 Triliun Per Mei 2025

Selanjutnya: IHSG Anjlok ke Bawah 7.000, JP Morgan Beberkan Penyebab

Menarik Dibaca: Cerita Maudy Ayunda dan Caca Tengker Kala Menggunakan Lotion dengan Kandungan Oat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×