Reporter: Margareta Engge Kharismawati, Adi Wikanto | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Mata uang rupiah sempat berubah status dari kelompok fragile five menjadi high five. Namun, pasca pemilihan umum (pemilu) legislatif, nilai tukar rupiah kembali melemah dan belakangan sempat bergejolak hingga di atas Rp 11.600 per dollar Amerika Serikat (AS). Naik turun, nilai tukar rupiah akan terus berlanjut dalam beberapa bulan mendatang, namun Bank Indonesia (BI) menilai hal itu wajar terjadi menjelang pemilu presiden.
Sebelum akhir Februari 2014, pelaku pasar mengelompokkan mata uang rupiah, real Brazil, rupee India, lira Turki dan rand Afrika Selatan dalam fragile five karena volatilitasnya yang tinggi. Namun, mulai akhir Februari, mereka masuk dalam kelompok high five, karena penguatannya yang besar dan volatilitasnya rendah. Hanya saja kondisi ini berlangsung sementara.
Pasca pemilu legislatif, nilai tukar rupiah kembali mudah goyah dengan volatilitas tinggi. Tahun ini, nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah pada 24 April, yakni Rp 11.608 per dollar AS (kurs tengah BI). Sehari setelahnya, rupiah hanya menguat tipis ke Rp 11.601.
Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan nilai tukar rupiah yang bergejolak belakangan ini wajar terjadi. Saat pemilu, rupiah selalu naik turun, dengan kecenderungan melemah. Ia berharap, pelaku pasar dan pengusaha tak berlebihan menyikapinya.
Lihat saja tahun 2009, setelah pemilu legislatif pada 9 April, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bergerak naik turun di kisaran Rp 10.000-Rp 11.000. Nilai tukar rupiah kemudian stabil di kisaran Rp 9.900 setelah terpilih presiden.
Lima tahun sebelumnya juga terjadi hal serupa. Awal April 2004, rupiah bergerak di kisaran Rp 8.500. Setelah pemilu legislatif, nilai tukar rupiah melemah, terus merambat naik dari Rp 8.600 hingga menembus di atas Rp 9.400. Bahkan, gejolak rupiah tahun 2004 lebih panjang dibanding tahun 2009, karena pemilu presiden berlangsung dua putaran.
Nah, untuk kali ini, Mirza bilang rupiah akan melemah hingga terlihat hasil koalisi serta kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Nanti setelah hasil pemilu presiden keluar maka ada probabilitas untuk penguatan rupiah. "(Pelemahan rupiah) biasa saja. Masih dalam batas yang normal," ujar Mirza, Jumat (25/4).
Bisa menguat
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Doddy Ariefianto, bilang, kegiatan politik tahun ini memang berpengaruh sangat besar terhadap nilai tukar rupiah. Terbukti, meskipun secara fundamental ekonomi Indonesia membaik, tapi nilai tukar rupiah tetap labil. "Pelaku pasar menahan dananya, sementara kebutuhan dollar tetap tinggi," kata Doddy.
Ekonom Senior Standard Chartered, Fauzi Ichsan memprediksi rupiah hingga akhir Juni berada pada posisi Rp 11.700 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini memang dipicu ketidakstabilan politik dalam negeri akibat pemilu serta defisit transaksi berjalan yang bakal melebar karena ada repatriasi.
Ketika hasil pemilu sudah keluar dan terjadi kestabilan dengan arah kebijakan ekonomi maka rupiah berpotensi menguat. "Rupiah bisa menguat ke level 10.900," tutur Fauzi.
Neraca transaksi berjalan akan menuju pada level defisit yang lebih sehat yaitu sebesar US$ 24,9 miliar. Asal tahu, defisit transaksi berjalan 2013 sebesar US$ 28,4 miliar.
Pakar Ekonom dan juga Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), Aviliani, berharap pemerintah dan BI membuat kewenangan untuk mendeteksi dan mengatur keluar masuk uang. Misalnya, kalau kebutuhan dolar di atas nilai tertentu, bank harus melapor ke BI, sehingga persediaan terjaga.
Kalau tidak seperti itu maka ada potensi rupiah kembali ke level 12.000. Pasalnya kebutuhan dolar tinggi antara Juni hingga September karena repatriasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News