Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan Komisi XI DPR RI saat ini tengah membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU ini merupakan perubahan kelima atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang KUP.
Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan, RUU tersebut sangat penting agar pajak terus bisa menopang pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tahun-tahun mendatang.
"Dalam pembahasan RUU KUP ini, kita bisa mengukur keseriusan pemerintah dan DPR secara bersama-sama untuk melakukan penyelamatan fiskal tahun 2023," kata Ajib dalam keterangannya, Jumat (9/7).
Ajib menyarankan ada dua hal yang perlu didorong agar reformasi perpajakan yang menjadi grand design pemerintah bisa berjalan dengan optimal dan perlu dituangkan dalam RUU KUP.
Baca Juga: Mantan Menkeu Fuad Bawazier usul PPN untuk sembako impor hingga jasa parkir
Pertama, mengeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari struktur Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Pembentukan BPN ini sebetulnya sudah digagas dalam nomenklatur RUU KUP yang sejak tahun 2016 lalu.
Menurutnya, otoritas dan kelembagaan perpajakan di Indonesia masih dalam level eselon I, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan.
Dalam konteks pengelolaan perpajakan modern, dengan tanggung jawab yang sangat strategis, lembaga ini harus mempunyai fleksibilitas dan kewenangan yang optimal, menjadi lembaga independen langsung di bawah presiden.
"Badan Penerimaan Negara menjadi sebuah jawaban yang dibutuhkan. Kalau di bawah Kementerian Keuangan, kebijakan yang dibutuhkan membutuhkan proses yang panjang dan cenderung tidak efektif. Hal inilah yang dianut negara-negara modern yang tergabung dalam G20, dimana Indonesia adalah salah satu anggotanya," ucap Ajib.
Baca Juga: Ditjen Pajak Minta Restu Menggelar Tax Amnesty II
Kedua, pembentukan basis data yang valid dan terintegrasi, Single Identification Number (SIN). Konsep dan perencanaan SIN ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2002, dengan pelaksana teknis waktu itu Direktorat PBB di bawah Ditjen Pajak.
Dengan menggabungkan lebih dari 10 nomor identitas yang melekat pada wajib pajak, maka pemungutan pajak akan lebih efektif, lebih efisien dan berkeadilan. Fungsi dari pajak, selain sebagai budgeteir, atau pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, atau pengatur.
Baca Juga: Menyoal Kepatuhan PPN Indonesia
Dengan pemungutan pajak yang didasarkan dengan SIN, maka fungsi pajak secara optimal bisa memberikan pemasukan maksimal terhadap keuangan negara.
"Ini yang kemudian akan tercermin di tax ratio. di sisi lain, regulasi perpajakan juga dijalankan secara berkeadilan. Bisa menjadi instrumen redistribusi, dan mengurangi tingkat kesenjangan. Inilah yang tercermin dengan penurunan gini ratio," ujar Ajib.
Dengan adanya kedua hal tersebut, Ajib yakin penerimaan pajak akan melonjak, sehingga bisa mendorong konsolidasi fiskal di tahun 2023 dengan hasil defisit APBN di bawah 3%.
Selanjutnya: Bila kalah sengketa pajak, pemerintah akan bebaskan denda administrasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News