kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rumusan CHT 2025 Dinilai Perlu Ditinjau Ulang, Ini Alasannya


Rabu, 24 April 2024 / 08:58 WIB
Rumusan CHT 2025 Dinilai Perlu Ditinjau Ulang, Ini Alasannya
ILUSTRASI. Pekerja menyelesaikan pembuatan cerutu di pabrik cerutu Rizona Temanggung, Jawa Tengah, Senin (22/4/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen dan cukai rokok elektrik sebesar 15 persen pada tahun 2024. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wpa.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang berlebihan secara terus-menerus dinilai akan memukul pelaku industri hasil tembakau (IHT). Oleh karena itu, sejumlah pihak merekomendasikan kenaikan sebaiknya dilakukan secara moderat sesuai inflasi.

Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF Andry Satrio Nugroho berpendapat bahwa pemerintah perlu meninjau kembali rumusan yang membentuk tarif cukai jika ingin menaikkan tarif cukai di tahun 2025.  Menurutnya, rumusan yang baku, transparan, dan jelas sangat berpengaruh pada penerimaan negara dan juga keberlangsungan dari IHT itu sendiri
 
“Pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan faktor kesehatan bisa dijadikan dalam menentukan besaran cukai CHT. Misalnya, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di 2025 mencapai 5%, lalu inflasi 3% dan faktor kesahatan tidak lebih dari 1%, sehingga semestinya tarif CHT di kisaran 9%. Sehingga pelaku usaha bisa lebih bersiap untuk menaikkan setorannya pada negara,” kata dia dalaï keterangannya, Rabu (24/4).

Sebab jika kenaikannya sampai dua digit, kata dia, maka  produksi dari industri hasil tembakau itu menurun dan penerimaan negara dalam bentuk cukai hasil tembakau itu juga otomatis menurun.

Baca Juga: Menko Airlangga Buka Suara Soal Penerapan Pajak Karbon hingga Tarif PPN 12%

Menurutnya,  pengendalian konsumsi rokok tidak hanya terletak pada tarif cukai saja tetapi juga pada insentif dan fiskal. Apalagi kenaikan cukai yang eksesif bagi IHT akan berdampak ke sektor lain yang terkait seperti pertanian, padat karya, tenaga kerja, dan juga ritel. 

Ia bilang, jika pemerintah hanya  fokus pada kenaikan tarif cukai pasti akan berimplikasi pada meningkatnya rokok ilegal. Sebab saat cukai naik terlalu tinggi, harga rokok pun langsung ikut meningkat. Sementara itu pabrikan tidak bisa begitu aja mengalihkan beban kenaikan tarif cukai secara langsung dan serentak kepada konsumen.  Hasilnya konsumen akan  berpindah ke rokok yang lebih terjangkau dan malah membuka peluang pasar yang lebih luas bagi peredaran rokok ilegal.
 
Tingginya peredaran rokok ilegal pun terlihat dari penindakan yang dilakukan Bea Cukai sepanjang 2023. Melalui Operasi Gempur Rokok Ilegal tahap dua ditemukan peredaran rokok ilegal melalui PJT mengalami peningkatan dengan jumlah barang hasil penindakan mencapai 73,5 juta batang. 
 
Dalam kesempatan yang berbeda, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, turut menyoroti kebijakan kenaikan CHT di tahun 2023-2024 juga dinilai tidak mampu membendung maraknya perpindahan konsumsi ke rokok murah dan rokok ilegal.

Baca Juga: Bea Cukai Beri Izin Pembebasan Bea Masuk Impor Alat Kesehatan
 
Dia mengimbau pemerintah harus lebih serius dalam menutup usaha rokok ilegal untuk meningkatkan penerimaan negara. Sebab, angka kerugian negara dari usaha ilegal, termasuk rokok ilegal, jumlahnya sudah sangat tinggi untuk dapat ditambal oleh negara.
 
“Permasalahannya kalau rokok ilegal dengan harga Rp15 ribu itu semuanya masuk ke perusahaan, sedangkan rokok legal yang masuk ke perusahaan hanya 25%, selebihnya masuk ke negara berupa cukai. Berarti apabila rokok legal dengan harga Rp35 ribu maka hanya sekitar Rp8-9 ribu yang masuk ke perusahaan untuk biaya produksi, karyawan, dan keuntungan. Artinya,  pasti kalah kalaumau melawan yang ilegal," jelasnya, 
 
Data tersebut terefleksi dari realisasi setoran cukai dalam penerimaan kepabenan dan cukai hingga 15 Maret 2024 pun ikut menyusut 5,9% akibat penurunan produksi barang kena cukai (BKC) utamanya hasil tembakau (HT). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×