Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan anggaran negara terkait potensi pelemahan ekonomi akibat konflik di Timur Tengah.
Apalagi dalam waktu bersamaan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan terus melemah.
Terbaru, kementerian ESDM mengungkapkan bahwa pemerintah akan menaikkan impor BBM menjadi 850 ribu barel per day akibat penurunan produksi migas nasional.
Beberapa kebijakan yang dinilai menjadi beban pemerintah adalah Program harga gas murah untuk industri yang dikenal sebagai Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Baca Juga: Kemenperin Siapkan Antisipasi Dampak Situasi Geopolitik Dunia Bagi Sektor Industri
“Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus (HGBT) perlu dievaluasi ulang. Pertama, memertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs Rupiah,” ungkap Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira dalam keterangannya, Minggu (20/4).
Dalam kondisi terjadinya kenaikan harga gas, menurutnya, maka beban dari program HGBT akan meningkat sehingga risiko terhadap sektor minyak dan gas (migas) menjadi lebih tinggi dan potensi kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar. “Padahal APBN juga dibebani subsidi energi yang melebar,” tegasnya.
Pertimbangan kedua kenapa program yang sudah berjalan sejak pandemi Covid-19 dijalankan yaitu pada 2020 ini tidak disarankan diteruskan adalah karena insentif melalui HGBT sejauh ini belum banyak dirasakan manfaatnya.
“Deindustrialisasi tetap terjadi. Porsi industri saat ini hanya di kisaran 18% dari PDB. Tujuan insentif gas agar tercapai proses industrialisasi ternyata bisa dibilang gagal,” jelas Bhima.
Baca Juga: Pebisnis Migas Minta Kaji Ulang Gas Murah Untuk Industri
Pertimbangan ketiga yaitu dari dampaknya terhadap serapan tenaga kerja. Dengan adanya program HGBT terhadap sektor industri penerima, sejauh ini tidak banyak serapan tenaga kerjanya. ”Tidak banyak berubah dibanding pra-pandemi,” imbuhnya.
Maka Bhima menyatakan bahwa program HGBT tidak memiliki multiplier efek yang luas. Adapun upaya mendorong optimalisasi pasokan gas domestik adalah disarankan untuk menciptakan sistem yang lebih efisien.
Mulai dari memangkas banyaknya rantai pasok termasuk trader hingga optimalisasi infrastruktur.
”Artinya, untuk mencapai harga gas domestik murah untuk industri bukan dengan cara insentif seperti sekarang,” ujarnya.
Sementara itu, berkaitan dengan subsidi energi, saat ini sebaiknya tetap diprioritaskan terhadap yang memiliki dampak langsung kepada masyarakat untuk menjaga daya beli dan perekonomian secara umum. Terutama BBM dan listrik serta LPG 3kg.
Baca Juga: Dirasa Sangat Berdampak, Pelaku Industri Harap Kebijakan HGBT Diperpanjang
Terhadap subsidi prioritas seperti BBM ini pun menurut Bhima masih berpotensi terjadi kenaikan jika beban APBN dirasa akan semakin memberatkan.
Seperti diketahui, nilai tukar Rupiah saat ini telah menyentuh Rp16.000 per dolar Amerika Serikat (USD) dan dampak meningkatnya tensi geopolitik diperkirakan akan meningkatkan pula harga komoditas energi seperti minyak.
Menteri ESDM Arifin Tasrif akhir pekan kemarin mengumumkan potensi defisit tinggi akibat impor minyak masih terlihat.
Sebab Indonesia memeroduksi sebanyak 600 ribu barel per hari sedangkan impornya mencapai 840 ribu barel per hari dengan rincian sebanyak 600 ribu barel dalam bentuk BBM dan 240 ribu barel adalah minyak mentah.
Impor bersumber dari beberapa negara seperti Arab Saudi, Nigeria, dan beberapa lainnya. ”Karena mungkin (dari beberapa negara) itu yang paling kompetitif dalam menawarkan harga BBM-nya,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News