Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia berpotensi menambah impor Lithium dari Australia untuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Rencana ini akan dibahas dalam evaluasi Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
Direktur Ekonomi di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda mewanti-wanti dampak dari rencana penambahan impor lithium untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
Apalagi, Indonesia sebetulnya telah mengembangkan baterai listrik dengan memanfaatkan sumber daya alam sendiri yaitu nikel. Di lain sisi, Indonesia juga telah melakukan impor lithium untuk baterai lithium di dalam negeri.
"Saya cukup heran dengan ambisi Indonesia mengembangkan baterai mobil listrik dengan bahan dasar berbeda. Padahal kita punya keunggulan dalam sumber daya nikel dan kita juga mengimpor lithium untuk mengembangkan baterai lithium juga di dalam negeri," kata Nailul pada Kontan.co.id, Jum'at (16/5).
Jika impor ditambah, Nailul khawatir Indonesia akan semakin bergantung terhadap bahan baku dari luar dan berpotensi menaikan harga baterai listrik itu sendiri. Apalagi, jika kebutuhan lithium ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pasokan yang tersedia.
Baca Juga: Baterai Lithium Dharma Polimetal (DRMA) Dapat Sertifikat SNI Pertama di Indonesia
"Harga baterai akan lebih mahal dan tidak menarik bagi pengembang mobil listrik. Investasi yang sudah dilakukan akan menurun produksinya," jelas Nailul.
Selain itu, menurutnya Indonesia juga perlu belajar dari pengembangan baterai nikel yang ternyata pihak China yang lebih banyak diuntungkan dibandingkan ekonomi Indonesia.
Bahkan pemerintah Indonesia hanya mendapatkan sebagian kecil dampaknya. Di lain sisi, masyarakat lebih banyak mendapatkan dampak negatif dari adanya pembangunan smelter nikel.
"Saya rasa, pengembangan baterai lithium juga harus memperhatikan dampak ke ekonomi Indonesia, pendapatan pemerintah, dan masyarakat. Jika tidak, maka yang terjadi adalah dampak negatif ke ekonomi kita dalam jangka menengah dan panjang," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menjelaskan, Australia mempunyai lithium dan mangan. Saat ini Indonesia impor sekitar 80.000 ton lithium dari Australia untuk diproses di kawasan industri yang ada di Morowali.
Adapun, mineral kritis akan masuk dalam evaluasi IA-CEPA demi mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik.
"Sekarang kita targetnya CEPA-nya memasukkan critical mineral di dalamnya," ujar Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (15/5).
Baca Juga: Indonesia - Australia Bahas Peluang Kerja Sama Mineral Kritis
Ketika ditanya soal rencana penambahan impor Lithium, Airlangga mengatakan hal itu tergantung kapasitas pabrik di dalam negeri.
"Nanti lihat tergantung kapasitas pabriknya, kan ada yang melakukan ekspansi. Jadi kalao khusus untuk baterai kita punya lithium based," ucap Airlangga.
Lebih lanjut Airlangga mengatakan, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) sudah berlaku sejak tahun 2020.
Airlangga bilang, IA CEPA perlu dievaluasi karena biasanya CEPA akan dievaluasi setiap 5 tahun.
"Jadi sudah waktunya (diperbarui), dan dalam nanti negosiasi ini tentu hal strategis baru perlu kita masukkan, termasuk kerja sama di critical mineral," terang Airlangga.
Baca Juga: Evaluasi IA-CEPA, Indonesia Berpotensi Menambah Impor Lithium dari Australia
Selanjutnya: SR022 Resmi Diluncurkan, Bareksa Optimis Penjualan Tumbuh 20% dari Seri Sebelumnya
Menarik Dibaca: Ketegangan AS-China Mereda, Harga Emas Dunia Terpangkas 3% Minggu Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News