kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU Pelayaran dalam RUU Cipta Kerja masih belum memberi udara segar bagi pelaut


Minggu, 01 Maret 2020 / 16:53 WIB
Revisi UU Pelayaran dalam RUU Cipta Kerja masih belum memberi udara segar bagi pelaut
ILUSTRASI. Kapal tunda (tug boat) memandu kapal kargo di perairan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, Selasa (2/7/2019). Revisi UU Pelayaran dalam RUU Cipta Kerja dinilai masih belum memberi udara segar bagi pelaut. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.


Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja turut menyasar aturan di dalam bidang pelayaran, yaitu dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

RUU Cipta Kerja ini melakukan peringkasan dengan menghapus, menambah, dan mengubah beberapa isi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Ada setidaknya 46 poin perubahan dari beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang diubah di dalam beleid sapu jagat ini.

Baca Juga: PSAK 72 menjadi tantangan emiten sektor properti

Jika dirinci, perubahan ini mencakup penghapusan 12 pasal lama, penambahan 1 pasal baru, serta revisi beberapa poin di dalam pasal lainnya. Keduabelas pasal dalam UU Nomor 17 tahun 2008 yang dihapus di dalam Omnibus Law ini, yaitu pasal 30, pasal 52, pasal 53, pasal 97, pasal 103, pasal 107, pasal 127, pasal 156, pasal 157, pasal 159, pasal 161, serta pasal 162.

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, penghapusan pasal ini seharusnya tidak perlu dilakukan. Apalagi, pasal-pasal dihapus memuat aturan yang bersifat sangat teknis.

Seharusnya, kata Siswanto, pemerintah bisa mengatur beberapa ketentuan yang seharusnya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja, seperti aturan mengenai upah pelaut yang selama ini belum diatur.

"Malah pasal yang nggak ada itu yang diperlukan, misalnya upah pokok bagi pelaut. Soal gaji itu kan diurus oleh lintas lembaga, ini kan harusnya diselesaikan oleh omnibus law," ujar Siswanto saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (1/3).

Baca Juga: PLTU masih jadi andalan, ini strategi pemerintah mengembangkan clean coal technology

Nihilnya pasal yang mengatur besaran upah minimum bagi pelaut tentu akan membuat pengaturan upah ini menjadi semakin tidak adil. Padahal, kata Siswanto, dibutuhkan banyak sertifikasi bagi pelaut sebelum mereka dapat menjalankan profesinya.

Selain penghapusan pasal, ada pula beberapa aturan yang diubah kewenangannya dari yang sebelumnya milik pemerintah daerah, kemudian menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Sebagai contoh, ketentuan pasal 5 dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 menyebutkan bahwa, pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Lalu, usulan rumusan perubahan dari pasal 5 di dalam RUU Cipta Kerja menjadi, pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.

Jika diteliti, terdapat perubahan kewenangan penguasaan dan pembinaan pelayaran pada pasal tersebut, dari yang sebelumnya penguasaan dan pembinaan dilakukan oleh pemerintah, tetapi di dalam RUU Cipta Kerja, aturan ini beralih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Di dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja, dijelaskan alasan perubahan ini adalah sesuai dengan arahan presiden.

Baca Juga: RSPI Sulianti Saroso periksa tiga pasien diduga terinfeksi virus corona




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×