kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.561.000   59.000   2,36%
  • USD/IDR 16.802   8,00   0,05%
  • IDX 8.585   -61,06   -0,71%
  • KOMPAS100 1.186   -11,81   -0,99%
  • LQ45 849   -10,77   -1,25%
  • ISSI 307   -1,83   -0,59%
  • IDX30 437   -3,43   -0,78%
  • IDXHIDIV20 510   -2,95   -0,57%
  • IDX80 133   -1,59   -1,18%
  • IDXV30 138   -0,57   -0,42%
  • IDXQ30 140   -0,82   -0,59%

Revisi UU Migas, hindari potensi judicial review


Rabu, 02 Desember 2015 / 14:27 WIB
Revisi UU Migas, hindari potensi judicial review


Reporter: Havid Vebri | Editor: Havid Vebri

JAKARTA. Pembahasan revisi UU Migas yang saat ini tengah digodok DPR, harus dilakukan dengan cermat dan berhati-hati. Jangan sampai, setelah diketok palu nanti, justru akan memunculkan banyak masalah dan berpotensi memunculkan judicial review.

Demikian disampaikan Profesor Juajir Sumardi, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Ia menyarankan, agar revisi UU Migas dibangun berdasarkan amanah konstitusi, dalam hal ini sesuai Pasal 33 ayat 2 dan 3.

“RUU Migas sebisa mungkin harus menghindari potensi judicial review. Oleh karena itu, harus dibangun berdasarkan amanah konstitusi, dalam hal ini sesuai Pasal 33 ayat 2 dan 3. Esensinya, monopoli negara terhadap kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai negara,” kata Juajir, Rabu (2/12).

Di sisi lain, sambung dia, karena bersifat non-executable, yakni badan hukum yang tidak bisa melaksanakan hak dan kewajibannya secara mandiri, maka negara harus diwakili pemerintah. Dengan demikian, pemerintah diberi kuasa pertambangan oleh negara, sehingga mempunyai hak penguasaan atas sumber dan minyak dan gas.

“Tentu saja badan usaha khusus bidang minyak dan gas. Dan yang layak memegang amanah tersebut, adalah BUMN yang punya pengalaman, modal, teknologi, SDM, yang selama ini sudah teruji. Dan itu, hanya Pertamina,” kata Juajir.

Ia menambahkan, oleh karenanya, melalui Undang-Undang yang baru, penguasaan sektor hulu dan hilir harus berada pada Pertamina. Mengenai pelaksanaan di lapangan, jika Pertamina bisa melaksanakan, silakan Pertamina sendiri.

Namun jika tidak, lanjut Juajir, Pertamina berhak melakukan kerja sama business to business, baik yang didasarkan atas production sharing contract atau service contract.

“Pembiayaan itu akan diambil dari APBN dalam jumlah luar biasa besar. Kondisi ini tidak hanya membuat APBN kembali digegoroti, namun juga berpotensi menjadikan BUMN Khusus tadi sebagai sarang penyamun gaya baru,” ulasnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan, keterlambatan pembahasan revisi UU Migas menjadi pekerjaan rumah bagi DPR. Meski proses pembahasan masih panjang, ia mengaku bahwa dia dan Fraksi Nasdem telah menentukan sikap, yakni menolak rancangan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×