kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Revisi Permendag 50/2020 Segera Tuntas, Begini Respons idEA dan Pengamat


Selasa, 26 September 2023 / 09:00 WIB
Revisi Permendag 50/2020 Segera Tuntas, Begini Respons idEA dan Pengamat


Reporter: Dimas Andi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan segera menuntaskan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Aturan baru ini memastikan adanya pemisahan kegiatan media sosial dan e-commerce yang ada pada platform social-commerce.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyampaikan, berdasarkan hasil rapat bersama Presiden Joko Widodo, Senin (25/9), telah disepakati bahwa social-commerce hanya boleh memfasilitasi kegiatan promosi produk barang dan jasa di ranah digital.

Dengan demikian, platform social-commerce tidak bisa lagi melangsungkan kegiatan transaksi jual-beli barang atau jasa.

Mendag juga menyebut bahwa platform media sosial dan e-commerce tidak dapat digabungkan alias harus dipisahkan. Alhasil, tidak ada penguasaan terhadap algoritma data yang ada di dalam platform tersebut. Pemisahan ini ditujukan demi mencegah potensi penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis.

Baca Juga: Dilarang Berjualan Lewat Social E-Commerce, Begini Respon TikTok Indonesia

“Jadi dia (social-commerce) harus dipisah, sehingga algoritmanya tidak semua dikuasai,” ujar Zulkifli, Senin (25/9).

Melalui revisi beleid tersebut, pemerintah juga akan mengatur positive list atau daftar produk/barang apa saja yang boleh dijual dalam sistem perdagangan elektronik.

Ada pula poin terkait arus barang masuk, yang mana barang dari luar negeri harus diperlakukan sama dengan barang offline di dalam negeri. Misalnya, adanya jaminan sertifikat halal hingga izin Badan POM untuk produk makanan-minuman dan produk kecantikan. Hal yang sama juga diberlakukan untuk produk elektronik dari luar negeri.

“Platform tidak boleh bertindak sebagai produsen dan kalau transaksi impor minimal satu transaksi US$ 100,” tambah Zulkifli.

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) belum bisa berkomentar banyak soal revisi Permendag No. 50/2020. Mereka masih menunggu peraturan yang resmi dikeluarkan oleh pemerintah, sehingga dapat mempelajari pasal-pasal penting, khususnya pemisahan media sosial dan e-commerce.

“Setelah itu, kami baru bisa memberikan pendapat yang lebih mendalam,” imbuh Bima Laga, Ketua Umum idEA kepada KONTAN, Senin (25/9).

Peneliti Ekonomi Digital Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menyadari, revisi Permendag No. 50/2020 tampak cukup mendesak di tengah kekhawatiran terhadap eksistensi TikTok Shop yang mengancam para pedagang lokal.

Baca Juga: Pemerintah Izinkan Sosial Media Hanya untuk Promosi, yang Melanggar akan Ditutup

Berangkat dari kasus TikTok, regulasi yang memisahkan media sosial dan e-commerce justru tak bertaji. Sebab, pada akhirnya algoritma yang ada di TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial.

Praktik pemisahan aplikasi ini sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingkan aplikasi utamanya. Maka dari itu, hal yang harus dikejar pemerintah adalah TikTok mesti memiliki izin sebagai social-commerce.

“Praktik social-commerce pun sudah jamak dilakukan dan sudah ada sejak zaman Kaskus lalu,” kata Huda, Senin (25/9).

Di sisi lain, Huda mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang pernah menyebut bahwa terdapat empat platform yang sering digunakan oleh pelaku UMKM untuk berjualan secara online. Instant messenger menjadi platform yang paling banyak digunakan oleh UMKM, disusul media sosial, e-commerce/marketplace, serta website.

Artinya, media sosial justru memegang peranan penting dalam proses digitalisasi bisnis UMKM. Bila media sosial tak bisa dipakai untuk berjualan, maka itu memutus satu langkah UMKM untuk bisa go digital dan menjadi langkah mundur dari pemerintah.

Pemerintah pun mestinya bisa mengatur social-commerce supaya bisa setara dengan e-commerce ataupun pedagang offline. Dengan demikian, tercipta level playing field yang setara di antara masing-masing pelaku usaha tersebut.

Social-commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya, karena sejatinya interaksi pengguna media sosial tidak dapat diatur apakah mau jual-beli atau interaksi lainnya,” jelas Huda.

Huda pun membeberkan sejumlah poin agar social-commerce tidak menimbulkan kontroversi di Indonesia. Pertama, pemerintah mesti memasukkan detail pengaturan social-commerce untuk disetarakan dengan e-commerce, baik dari sisi persyaratan administrasi hingga perpajakan.

Kedua, online commerce harus melakukan penandaan (tagging) barang impor. Setelah itu, ada dua hal yang bisa dilakukan perusahaan online commerce, seperti memberikan disinsentif bagi produk impor dengan biaya admin lebih tinggi dan tidak memberikan promo kepada produk impor tersebut, serta memberikan insentif promo kepada produk lokal. 

Pihak online commerce juga perlu menyediakan minimal 30% etalase platform-nya untuk produk-produk lokal.

Ketiga, pemerintah dan platform commerce harus memastikan bahwa produk-produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan sebagainya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×