kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Repotnya gotong-royong menjadi kewajiban


Rabu, 30 Maret 2016 / 14:59 WIB
Repotnya gotong-royong menjadi kewajiban


Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Andri Indradie

Perseteruan antara pengusaha dan pemerintah kembali memanas. Kali ini pemicunya pengesahan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 23 Februari 2016. Beleid ini adalah produk inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah dibahas sejak tiga tahun silam.

Keberatan pengusaha bukanlah soal program pembiayaan perumahannya. Melainkan beban baru yang wajib ditanggung para pemilik modal. UU Tapera menyebutkan iuran Tapera ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.

Tanpa iuran Tapera saja, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, saban bulan beban program jaminan sosial yang musti ditanggung pengusaha sebesar 10,24%–11,74% dari total upah setiap pekerja. Kalau ditambah kenaikan upah minimum dan sundulannya yang rata-rata 14% dan cadangan pensiun 8%, beban ketenagakerjaannya 30,24%–31,74%.

Ini belum termasuk lembur, tunjangan, insentif, dan bonus. "Harusnya sudah tidak ada lagi tambahan iuran, ya," keluh Hariyadi.

Lagipula, bagi para pekerja sudah ada program serupa di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Berdasar Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dana Jaminan Hari Tua (JHT) bisa digunakan untuk program perumahan maksimal 30%.

Nah, menurut Irvansyah Bandja Utoh, Kepala Urusan Komunikasi Eksternal BPJS Ketenagakerjaan, per Januari 2016, dana JHT mencapai 180,88 triliun. Artinya, ada Rp 54,26 triliun dana bisa dimanfaatkan.

Alhasil, ketimbang menunggu pemupukan dana Tapera yang memakan waktu lama, lanjut Hariyadi, lebih baik dana yang ada di BPJS Ketenagakerjaan saja yang dipakai. "Tapera ini tidak lain merupakan duplikasi program perumahan BPJS Ketenagakerjaan," tandasnya.

Sesuai UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Ketenagakerjaan diberi mandat untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, program jaminan pensiun, dan program jaminan kematian.

Program perumahan di BPJS Ketenagakerjaan bentuknya lebih ke fasilitas tambahan untuk peserta program jaminan sosial. Memanfaatkan dana program jaminan sosial yang disimpan di deposito bank. Dasarnya, “BPJS ingin peserta merasakan manfaat tidak hanya ketika kecelakaan kerja, pensiun, atau meninggal,” kata Irvansyah.

Maurin Sitorus menampik jika Tapera disebut menduplikasi program BPJS Ketenagakerjaan. Tapera, kata Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, itu tidak hanya menempatkan dana kemudian disalurkan. Tetapi juga ada program pemberdayaan masyarakat, terutama bagi peserta pekerja mandiri.

Program serupa dilebur

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, dengan program di BPJS, buruh tetap tidak memiliki kemampuan untuk membeli rumah. Sebab, harga pasarannya sendiri sudah selangit. “Tapera ini akan saling memperkuat dengan program BPJS ketenagakerjaan, sehingga akses buruh terhadap perumahan lebih besar,” tukasnya.

Selain itu, pemerintah juga sudah memiliki Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan program perumahan yang dilaksanakan Bapertarum. Semua program tersebut, seharusnya sudah bisa mengkaver kebutuhan rumah untuk pekerja, baik swasta maupun pegawai negeri sipil. “Makanya sejak masih RUU, kami sudah menolak karena tidak urgen. Kan, sudah ada program di BPJS Ketenagakerjaan?” kata Hariyadi.

Kenyataannya, dari ketiga program perumahan tadi, cuma FLPP yang bisa dibilang kinerjanya lumayan. Penyaluran dana perumahan untuk PNS tidak maksimal karena minim sosialisasi dan iuran yang terlalu kecil sehingga nilai pembiayaannya juga kecil. Sementara program BPJS Ketenagakerjaan baru dimulai akhir tahun lalu (baca: Demi Rumah Para Pekerja).

Dus, pemerintah memilih menggabungkan Bapertarum dan FLPP ke Tapera. Untuk memperbesar aset dan kemampuan pembiayaan, Bapertarum PNS termasuk semua karyawannya akan dilebur ke dalam BP Tapera. Tenggat waktunya dua tahun setelah UU Tapera diundangkan.

Nantinya pokok simpanan dan hasil investasi milik PNS di Bapertarum akan dijadikan sebagai saldo awal PNS yang bersangkutan di BP Tapera. Sementara pokok simpanan dan hasil investasi milik pensiunan PNS akan dikembalikan ke yang bersangkutan, atau ahli warisnya jika meninggal dunia.

Setelah Bapertarum dilebur, giliran program FLPP yang bakal disatukan dengan Tapera. Selain untuk memperbesar aset dan kemampuan pembiayaan, langkah ini dilakukan lantaran sasaran program FLPP sama dengan Tapera. “Kalau dilihat sasarannya sama, antara desil 5 sampai 8. Supaya lebih terintegrasi dan fokus jadi disatukan saja,” ujar Maurin.

Pemerintah tidak langsung menghapus FLPP lantaran BP Tapera sendiri belum dilahirkan. Selain itu, FLPP masih menjadi tulang punggung program satu juta rumah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.

Soal tuntutan pengusaha, sebetulnya pemerintah dan DPR sudah mengalah. Semula, iuran Tapera dicantumkan di RUU Tapera pasal 15. Besarannya 3%; pemberi kerja menanggung 0,5% dan pekerja mengiur 2,5%.

Namun, ketentuan soal iuran ini dihilangkan dari UU Tapera yang disahkan DPR. Sebagai gantinya, akan diakomodir dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Dengan cara ini, jika terjadi sesuatu, misalnya perubahan kondisi ekonomi, pemerintah lebih gampang melakukan utak-atik besaran dan komposisi iuran.

Di sinilah ruang lobi bagi pengusaha untuk menekan bagian iuran pemberi kerja terbuka lebar.

SUMBER: Laporan Utama Tabloid KONTAN "Menabung Rumah Memotong Upah" Edisi 7 Maret - 13 Maret 2016

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×