Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID- JAKARTA. Rendahnya realisasi penerimaan pajak dinilai terjadi karena permasalahan struktural. Di satu sisi, target penerimaan pajak terlalu tinggi. Di sisi lain, perekonomian juga tengah mengalami perlambatan.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, selama tahun 2006 hingga 2014, rata-rata realisasi penerimaan pajak mencapai 96% dari target. Hanya sekali penerimaan pajak lebih dari target, yaitu sekitar 107% dari target di di tahun 2008 karena boom comodities.
"Dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, realisasi penerimaan pajak melorot ke 82%," kata Faisal dalam acara Seminar Reformasi Pajak di Auditorium Mandiri, Senin (30/10).
Di tengah kondisi tersebut, akrobat fiskal yang dilakukan pemerintah lebih parah lagi. Faisal bilang, harga BBM tidak dinaikkan padahal harga minyak naik dan tarif listrik juga tidak dinaikkan. Akibatnya, keuntungan Pertamina dan PLN menurun sehingga pajak yang disetorkan dari perusahaan tersebut juga menurun.
Oleh karena itu, pasca dilakukannya kebijakan tax amnesty oleh pemerintah, perlu pendekatan holistik. "Pajak mencerminkan dinamika perekonomian. Reformasi perpajakan bertolak dari ekonomi," tambahnya.
Menurutnya, pemerintah seharusnya memperkokoh kepatuhan wajib pajak terlebih dahulu. Sebab, pajak berkaitan dengan sikap manusia dan manusia memiliki berbagai macam ekspaktasi yang lebih pintar dari kebijakan pemerintah sendiri. Tanpa kepatuhan, lanjut Faisal, tax amnesty bisa saja dilakukan berulang-ulang.
Faisal juga mengatakan, pemerintah seharusnya memajaki lebih besar sektor-sektor yang kurang produktif dan mengurangi pajak untuk sektor-sektor produktif. Tujuannya, agar sektor yang kurang produktif menjadi produktif dan sektor produktif semakin produktif dan bisa menyejahterakan masyarakat.
"Yang tidak produktif apa? rokok, pajakin makin tinggi. Yang produktif? Susu misalnya, kalau perlu pajaknya hanya 10%," kata dia.
Selain itu, perlu juga diperlukan perubahan mindset pemimpin. Reformasi pajak, lanjut dia, diperlukan pemimpin yang visioner dan bukan pemimpin yang transaksional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News