Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Implementasi aturan baru Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) dinilai masih belum efektif. Kebijakan yang mulai berlaku pada 1 Maret 2025 ini dinilai lebih banyak menghasilkan pemenuhan administratif dibandingkan memberikan dampak nyata terhadap penguatan ekonomi eksternal nasional.
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) mencatat Sepanjang Maret–April 2025, realisasi DHE SDA tercatat sebesar US$ 22,9 miliar.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman menyampaikan, memang bila dilihat secara nominal angka realisasi tersebut tampak besar.
Namun, jika dibandingkan dengan total ekspor nasional pada periode yang sama yang mencapai US$ 43,98 miliar (Maret US$ 23,24 miliar dan April US$ 20,74 miliar), proporsinya dinilai hanya setengahnya atau sekitar 52%.
“Ini menandakan bahwa kontribusi DHE SDA terhadap keseluruhan ekspor nasional masih setengah jalan, dan patut dipertanyakan sejauh mana implementasi kebijakan ini betul-betul berjalan efektif,” tutur Rizal kepada Kontan, Kamis (19/6).
Baca Juga: Kebijakan Baru DHE SDA Bikin DPK Valas Perbankan Makin Mengembang
Lebih lanjut, Rizal menyoroti persoalan utama bukan hanya pada nominal dana yang masuk, melainkan pada penempatan devisa tersebut.
Dari seluruh DHE SDA yang masuk US$ 22,9 miliar, hanya sekitar US$ 194 juta yang benar-benar ditempatkan dalam rekening khusus valas (TD Valas) di dalam negeri. Menurutnya jumlah tersebut relatif sangat kecil untuk menopang cadangan devisa negara.
Sementara itu, berdasarkan catatan BI, sisanya sebanyak US$ 7,6 miliar disimpan di rekening umum valas. Kemudian, sebanyak US$ 14,4 miliar telah digunakan pengusaha untuk memenuhi kebutuhan usahanya.
Lalu, dari US$ 14,4 miliar tersebut, sebanyak US$ 12 miliar dilakukan penukaran ke mata uang rupiah.
“DHE masih lebih bersifat lalu lintas administratif ketimbang menjadi instrumen strategis,” kata Rizal.
Rizal melanjutkan, melihat kondisi tersebut, menunjukkan bahwa penerapan kebijakan DHE belum mampu menciptakan dampak signifikan terhadap penguatan nilai tukar rupiah maupun cadangan devisa. Pasalnya, ia melihat selama tidak ada insentif yang cukup menarik, eksportir cenderung hanya mematuhi aturan sebatas formalitas.
Tanpa insentif yang memadai, menurutnya, eksportir cenderung hanya memenuhi kewajiban secara minimal formalitas administratif terpenuhi, tetapi manfaat ekonominya belum optimal.
Maka itu, Rizal menilai, kebijakan DHE ke depan tidak cukup hanya berbasis kewajiban, tetapi harus berbasis kemauan yang didorong oleh ekosistem insentif yang jelas, kredibel, dan menjanjikan keuntungan bagi eksportir yang menahan devisanya di dalam negeri.
“Jadi, keberhasilan DHE jangan hanya dihitung dari angka masuknya, tetapi dari sejauh mana kebijakan itu berkontribusi pada memperkuat ketahanan eksternal kita, baik dari sisi rupiah maupun cadangan devisa,” tandasnya.
Baca Juga: Ini Alasan AS Akhirnya Terima Kebijakan DHE Indonesia
Sebagaimana diketahui, kebijakan DHE SDA yang baru tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/2025 tentang DHE SDA yang mengatur penyimpanan DHE SDA lebih lama dari aturan sebelumnya, yakni wajib disimpan 100% selama 12 bulan di perbankan dalam negeri.
Selanjutnya, DHE SDA yang berasal dari sektor pertambangan berupa minyak dan gas bumi, besaran persentase DHE SDA yang wajib tetap ditempatkan paling sedikit sebesar 30%untuk jangka waktu penempatan paling singkat 3 bulan sejak penempatan dalam rekening khusus DHE SDA.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Airlangga Hartarto optimistis dengan beleid DHE SDA yang baru ini, cadangan devisa Indonesia bisa bertambah hingga US$ 90 miliar tahun ini.
Selanjutnya: Blue Bird (BIRD) Bagi Dividen Rp 120 per Saham dari Laba Tahun Buku 2024
Menarik Dibaca: KAI Beri Diskon 20% untuk Tiket Kereta Eksekutif dan Bisnis di Jakarta Fair 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News