Reporter: Siti Masitoh | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memasuki pertengahan tahun 2025, realisasi belanja negara terhitung masih minim.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi belanja negara hingga akhir Mei 2025 mencapai Rp 1.016,3 triliun. Realisasi ini baru mencapai 28,1% dari pagu Rp 3.621,3 triliun, bahkan lebih rendah 11,26% bila dibandingkan periode sama tahun lalu.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufiqurrahman menilai, realisasi belanja negara yang masih rendah tersebut mencerminkan pola klasik penyerapan anggaran yang cenderung menumpuk di kuartal III dan IV.
Idealnya, kata Rizal akselerasi belanja harus dilakukan lebih awal, yakni mulai akhir kuartal II dan dipacu penuh di kuartal III.
“Hal ini dikarenakan tekanan pada konsumsi domestik dan realisasi investasi dalam penyerapan tenaga kerja minim serapan adalah nyata,” tutur Rizal kepada Kontan, Selasa (17/6).
Baca Juga: INDEF: Sulit Kejar Pertumbuhan Ekonomi 5,2% Jika Pemerintah Tak Cepat Belanja Negara
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) penjualan eceran menunjukkan kontraksi 5,1% secara tahunan pada April 2025. Selain itu, ekspektasi inflasi yang cenderung naik karena harga pangan dan energi, dan dari sisi eksternal, risiko pelemahan ekspor juga meningkat seiring gejolak global.
Rizal menambahkan, apabila realisasi belanja dioptimalkan menunggu hingga kuartal IV, maka belanja pemerintah hanya akan berfungsi sebagai ‘penghabisan anggaran’ tanpa multiplier effect yang optimal ke perekonomian.
“Timing terbaik adalah Juli-Agustus 2025 sebagai momentum krusial, di mana dana APBN harus mulai mengalir deras ke proyek-proyek padat karya, bansos produktif, serta insentif belanja pemerintah pusat dan daerah,” ungkapnya.
Ia menyebut, apabila disiplin belanja tersebut dilakukan, maka belanja negara akan mampu menjadi jangkar pertumbuhan di tengah konsumsi swasta yang belum pulih dan ekspor yang mulai tertekan.
Lebih lanjut, Rizal juga mengingatkan agar strategi realisasi belanja jangan lagi berorientasi hanya pada serapan, tapi juga memiliki dampak positif.
Baca Juga: Belanja Negara Turun 5,06% YoY, Baru Terserap 22,3% dari Pagu APBN per April 2025
“Kalau ingin mendorong PDB (produk domestik bruto) tumbuh mendekati target tahunan, timing realisasi belanja harus dipercepat, agar efeknya terasa di konsumsi rumah tangga dan investasi sebelum akhir tahun. Kalau tidak, pertumbuhan ekonomi 2025 hanya akan jalan di tempat,” ungkapnya.
Adapun ia merekomendasikan pemerintah harus segera melakukan front loading belanja, bukan hanya menunggu siklus anggaran berjalan biasa (business as usual). Namun harus extraordinary strategy.
Hal tersebut lanjutnya, harus dipicu dengan langkah-langkah teknokratis yang jelas dan terarah. Diantaranya, percepatan revisi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) di kementerian dan lembaga agar tidak ada hambatan administratif yang membuat belanja tertahan di atas kertas.
Kemudian, optimalisasi belanja daerah harus dilakukan melalui sinergi pusat-daerah, karena dana transfer daerah kerap menjadi dana mengendap di kas pemda, bukan menjadi belanja riil.
Serta difokuskan realisasi belanja ke sektor-sektor yang memiliki multiplier effect tinggi terhadap penyerapan tenaga kerja, seperti proyek infrastruktur skala menengah, program padat karya, hingga insentif untuk pelaku UMKM yang berbasis sektor riil.
Baca Juga: Realisasi Belanja Negara Minim, Pertumbuhan Ekonomi Diprediksi Tak Sampai 5%
Selanjutnya: MedcoEnergi Mulai Operasikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya 25MWp di Bali Timur
Menarik Dibaca: Ada Diskon Tiket Kereta 30%, 952.639 Tiket Sudah Terjual
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News