Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga 14 Desember 2022, pemerintah merealisasikan belanja negara sebanyak Rp 2.717,6 triliun.
Ini baru sekitar 87,5% dari target yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang sebesar Rp 3.106,4 triliun.
Untuk mencapai target belanja yang sudah dipatok, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah harus merealisasikan sekitar Rp 400 triliun atau lebih tepatnya Rp 388,8 triliun hanya dalam waktu 11 hari.
Namun sepertinya, pemerintah telah melihat kemungkinan realisasi anggaran tak terserap 100% pada tahun ini.
Baca Juga: Realisasi Subsidi dan Kompensasi BBM Diprediksi Tembus Rp 502,4 Triliun
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata memperkirakan, realisasi belanja pada tahun 2022 hanya di kisaran 94% hingga 95% dari target, atau sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira tak seoptimistis pemerintah. Ia memperkirakan, belanja negara hanya akan terserap sekitar 90% pada akhir tahun 2022.
“Sulit capai 100%, bahkan yang 95% sekalipun. Masih overshoot (terlalu tinggi),” tegas Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (20/12).
Bhima juga menyoroti kualitas belanja yang dilakukan. Menurutnya, tidak ada perubahan pola penciptaan kualitas anggaran, baik anggaran pusat maupun daerah.
Baca Juga: APBN 2022 Defisit Rp 237,7 Triliun Per 14 Desember 2022
“Anggaran dicairkan secara cepat hanya pada akhir tahun. Pemerintah daerah pun sama. Lebih baik ke depannya kualitas belanja dinaikkan, sehingga memberi dampak ke perekonomian,” tuturnya.
Dengan kualitas belanja ini, Bhima melihat daya dorong belanja terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2022 hanya sekitar 7% hingga 8% saja. Menurutnya, ini tak cukup dalam mendorong pemulihan ekonomi.
Bhima berpesan agar hal ini jangan terus terulang. Pada tahun 2023, pemerintah perlu membenahi kualitas belanja. Belanja tahun 2023 harus fokus pada dua jenis belaja utama, yaitu perlindungan sosial dan belanja modal.
Pertama, Bhima menyarankan belanja perlindungan sosial bisa ditambah. Menurut hitungannya, belanja perlindungan sosial tahun 2023 baru 2,2% dari produk domestik bruto (PDB).
Padahal, tantangan tahun depan masih tinggi, seperti inflasi dan ancaman resesi global yang berdampak pada Indonesia.
Masyarakat rentan hingga kelas menengah perlu tambahan bantuan dari pemerintah, untuk menjaga daya beli di tengah tantangan ini. Pun untuk mendorong pertumbuhan.
Baca Juga: Realisasi Belanja Negara, Belanja K/L Sudah Lampaui Target
Kedua, belanja modal perlu dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur pangan dan industri pengolahan. Sambil menyelam minum air, ini juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan.
Di luar dua hal ini, siklus serapan belanja pemerintah pusat dan transfer daerah diharapkan bisa lebih cepat pada kuartal I-2023.
Pun kontrak proyek dan pengadaan barang jasa, perlu diselesaikan di paruh pertama tahun depan.
“Lebih cepat, lebih baik. Ini akan makin positif terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan yang dibayang ketidakpastian,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News