Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Lamgiat Siringoringo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melakukan perubahan Penghitungan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sejak 1 Januari 2024. Kebijakan ini telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 58 tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023.
Melalui ketentuan itu, pemerintah menetapkan penghitungan PPh Pasal 21 menggunakan metode tarif efektif rata-rata atau TER, yang terbagi menjadi dua kategori, yakni tarif efektif bulanan untuk setiap masa pajak selain masa pajak terakhir dalam satu tahun, serta tarif efektif harian.
Menanggapi hal tersebut, konsultan pajak RDN Consulting menilai jika kebijakan tersebut sangat tepat dilakukan. Apalagi, kebijakan baru ini memudahkan bagi para pemotong atau pemungut pajak, yakni para pemberi kerja, dalam menghitung PPh 21 karyawannya.
"Salah satu asas dalam pemungutan pajak adalah kemudahan administrasi. Dengan skema TER yang baru, maka penghitungan PPh Pasal 21 akan menjadi lebih sederhana, sehingga diharapkan akan lebih banyak WP UKM menjadi lebih patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya," kata Managing Partner RDN Consulting, JB Rusdiono dalam keterangannya, Selasa (30/1/2024).
Rusdiono mengatakan, bagi pengusaha kecil dan menengah, skema penghitungan PPh cara lama dengan menghitung sesuai Pasal 17 (1) secara bulanan tentu memerlukan pengetahuan yang memadai. Sehingga, para pemberi penghasilan banyak mengalami kendala dalam cara menghitung pajak penghasilan Pasal 21 karyawan-karyawannya.
"Antara lain karena harus mengetahui jenjang tarif Pasal 17, apa saja yang menjadi komponen penghasilan bruto, serta apa saja yang menjadi pengurang penghasilan bruto. Dan pada umumnya kelompok ini tidak memiliki sumber daya orang (karyawan) yang memiliki pengetahuan atau keterampilan perpajakan," jelasnya.
Partner RDN Consulting Resadhatu mengatakan, pihaknya akan terus melakukan sosialisasi dan seminar TER PPh 21 ini bagi wajib pajak.
Hal ini lantaran, sosialisasi dan seminar ini sangat penting mengingat peraturan terbaru memiliki dampak yang masif dan signifikan pada perusahaan. Ditambah lagi, Peraturan Pemerintah (PP) 58 Tahun 2023 diterbitkan pada akhir bulan Desember 2023 dan sudah harus diterapkan per 1 Januari 2024. Otomatis perusahaan hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk penerapannya.
"Sebagai kantor konsultan pajak, RDN Consulting terus berkomitmen memberikan kontribusi aktif dalam mewujudkan perpajakan untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satunya melalui program “RDN Lestari” yang menyediakan layanan pro bono berupa kegiatan seminar perpajakan online ataupun offline yang dapat diikuti secara gratis," paparnya.
Menurut Resadhatu, dengan adanya sosialisasi yang terus menerus, diharapkan masyarakat menjadi semakin mengenal tentang perpajakan sehingga tidak takut lagi.
"Kami juga berharap bagi seluruh konsultan pajak di Indonesia, terutama yang memiliki izin resmi dari DJP, dapat membagikan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya terkait perpajakan kepada masyarakat," jelasnya.
Lebih lanjut, Penyuluh Pajak Ahli Muda Kanwil DJP Jaksel II Julistia menjelaskan, skema TER yang diatur dalam PP Nomor Tahun 2023 dan PMK Nomor 168 Tahun 2023 akan lebih memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung atau memotong PPh Pasal 21. Selain itu, skema TER ini juga tidak menambahkan beban baru bagi Wajib Pajak.
“Cara penghitungan dalam pemotongan PPh Pasal 21 dalam ketentuan sebelumnya memiliki kompleksitas yang tinggi dan skema perhitungan yang sangat bervariasi dibandingkan dengan sistem withholding tax lainnya, misalnya dalam PPh final atau PPh Pasal 23, sehingga menyulitkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban PPh Pasal 21. Maka, dengan skema TER ini lebih memudahkan,” jelas Julistia.
TER yang dimaksud terdiri atas TER bulanan dan tarif efektif harian.
Berikut Rinciannya:
1. Pegawai tetap:
TER bulanan digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 setiap masa, selain masa pajak terakhir; dan
Tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh untuk menghitung PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir.
2. Dewan pengawas /komisaris:
Menggunakan TER bulanan.
3. Pegawai tidak tetap:
TER harian untuk penghasilan yang tidak diterima bulanan dan jumlah harian/rata-rata harian sampai dengan Rp 2,5 juta;
Tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh untuk penghasilan yang tidak diterima bulanan dan jumlah harian/rata-rata harian lebih dari Rp 2,5 juta; dan
TER bulanan untuk penghasilan yang diterima bulanan.
4. Bukan pegawai, peserta kegiatan, peserta program pensiun, dan mantan pegawai:
Menggunakan tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh.
5. Pejabat negara, PNS, TNI, Polri, dan pensiunannya:
TER digunakan untuk menghitungan PPh Pasal 21 setiap masa selain masa pajak terakhir; dan
Tarif Pasal 17 Ayat (1) UU PPh untuk menghitung PPh Pasal 21 pada masa pajak terakhir.
Rincian batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pada TER bulanan sebagai berikut:
Kategori A:
Tidak kawin tanpa tanggungan (TK/0) memiliki batasan PTKP Rp 54.000.000;
Tidak kawin dengan satu tanggungan (TK/1) memiliki batasan PTKP Rp 58.500.000; dan
Kawin tanpa tanggungan (K/0) memiliki batasan PTKP Rp 58.500.000.
Kategori B:
Tidak kawin dengan dua tanggungan (TK/2) memiliki batasan PTKP Rp 63.000.000;
Tidak kawin dengan tiga tanggungan (TK/3) memiliki batasan PTKP Rp 67.500.000;
Kawin dengan satu tanggungan (K/1) memiliki batasan PTKP Rp 63.000.000; dan
Kawin dengan dua tanggungan (K/2) memiliki batasan PTKP Rp 67.500.000.
Kategori C:
Kawin dengan tiga tanggungan (K/3) memiliki batasan PTKP Rp 72.000.000.
“Kemudian, terdapat juga pengurangan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) bagi pegawai tetap, yaitu biaya jabatan, iuran terkait program pensiun dan hari tua, yang terkait dengan gaji, yang dibayar oleh pegawai melalui pemberi kerja kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), badan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan, badan penyelenggara tunjangan hari tua yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia—yang dibayarkan melalui pemberi kerja kepada badan amil zakat, lembaga amil zakat, dan lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah,” urai Julistia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News