kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rasio penerimaan pajak Indonesia paling rendah dari negara lain


Kamis, 25 Juli 2019 / 19:03 WIB
Rasio penerimaan pajak Indonesia paling rendah dari negara lain


Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Dalam laporan terbarunya, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan faktor-faktor penentu tinggi rendahnya rasio pajak (tax ratio) di berbagai negara, terutama di kawasan Asia dan Pasifik. 

Selain itu, OECD juga menemukan bahwa  rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) paling rendah dari negara lain yang disurvei. 

Baca Juga: Ternyata dari sini sumber penerimaan mayoritas negara di kawasan Asia Pasifik

Menurut OECD dalam edisi keenam  Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies, Rabu (24/7), pendapatan (PDB) per kapita suatu negara memang berkaitan dengan tax ratio-nya, namun itu tak menjadi penentu utama. 

“Tax ratio cenderung lebih tinggi di negara berpenghasilan tinggi (high-income economies) meskipun kaitannya tidak selalu secara langsung dan ada faktor-faktor lainnya,” terang OECD. 

Faktor struktural ekonomi menjadi kunci determinan tax ratio di banyak negara. Misalnya, seberapa besar peran sektor agrikultur dalam suatu ekonomi negara akan menentukan tingkat penerimaan pajak di negara tersebut. 

Baca Juga: Bisakah penentuan besaran gaji karyawan berdasarkan asal kampusnya?

Sektor agrikultur atau pertanian kerap dianggap sebagai sektor yang sulit untuk dipajaki. Pertama, karena masyarakat sektor pertanian terutama di negara berkembang umumnya berpendapatan rendah dan tidak tergolong wajib pajak. 

Kedua, sektor pertanian kerap mendapat banyak keuntungan dari pengecualian pajak (tax exemptions). Beberapa negara menerapkan kebijakan bebas bea impor maupun cukai untuk barang-barang pertanian, di antaranya Malaysia dan Indonesia. 

Bahkan, OECD menyebut besarnya porsi sektor pertanian di Indonesia, di atas 10% PDB, menjadi salah satu penyebab tax ratio relatif rendah. 

Namun selain itu, OECD menekankan pengaruh kebijakan dan administrasi perpajakan suatu negara terhadap capaian tax rationya. “Ini termasuk seberapa kuat administrasi pajak, tingkat korupsi pada institusi otoritas pajak, hingga tax morale (kepatuhan dan keinginan masyarakat membayar pajak),” lanjut OECD. 

Baca Juga: OECD: Tax ratio Indonesia terendah di antara negara Asia dan Pasifik

Kajian lembaga tersebut menyimpulkan, ada korelasi erat antara efektivitas pemerintah dan kualitas pelayanan institusi perpajakan dengan tax ratio negara-negara di kawasan Asia. 

Sayangnya, laporan OECD ini menyimpulkan Indonesia sebagai negara dengan rasio penerimaan pajak terhadap PDB paling rendah di antara negara yang disurvei lainnya, yaitu 11,5% per 2017. 

OECD berharap, langkah pemerintah Indonesia memperkuat dan memodernisasi administrasi pajak dapat mendorong penerimaan perpajakan dan mengurangi ketergantungan penerimaan Indonesia dari sumber daya alam, khususnya minyak mentah. 

Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam Konsultasi Pusat Rancangan AWal RPJMN 2024, Rabu (24/7), mengakui tax ratio Indonesia masih rendah dan sulit untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional. 

Baca Juga: Bukan OECD, tapi kestabilan politik dan kepastian berusaha jadi penarik dana asing

“APBN kita belum terlalu besar karena tax ratio masih sangat terbatas. Belanja pengeluaran tepat sasaran dan jelas dampaknya,” ujar Bambang kemarin. 

Dalam rancangan awal RPJMN 2020-2024, pemerintah mematok target tax ratio di kisaran 12,2% - 13,3% terhadap PDB hingga lima tahun ke depan. Ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksi mampu naik ke level 5,4% - 6% untuk periode yang sama. 

Adapun, Kementerian Keuangan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) RAPBN 2020 menetapkan  tax ratio 2020 pada kisaran 11,8%-12,4% terhadap produk domestik bruto (PDB). Ini lebih pesimistis dibandingkan kisaran dalam RAPBN 2019 lalu yaitu 11,4% -13,6% terhadap PDB.

Baca Juga: Target menjadi anggota OECD bukan jaminan investasi asing meningkat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah tetap meyakini penerimaan negara akan makin meningkat. 

“Pemerintah berupaya meningkatkan  tax ratio. Reformasi perpajakan juga terus merespon perkembangan ekonomi, serta mendorong daya saing investasi dan eskpor melalui pemberian insentif fiskal,” ujar Menkeu belum lama ini dalam paparan KEM dan PPKF RAPBN 2020 di DPR.

Baca Juga: Kementerian LHK jalin kerja sama dengan OECD untuk optimalkan potensi pajak hijau

Untuk tahun ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara sebelumnya mengatakan, faktor kebijakan pemerintah mempercepat restitusi pajak menjadi penyebab penerimaan pajak melambat. Namun, ia meyakini, tren penerimaan pajak akan kembali sesuai dengan siklus perekonomian di semester II-2019 pasca siklus percepatan restitusi selesai. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×