Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, mengungkapkan, kondisi atmosfer dan intensitas hujan yang tinggi dapat memicu bencana ekstrem di wilayah rawan.
Bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi indikasi bahwa ancaman serupa bisa terjadi di daerah lain dengan karakter bentang alam serupa.
"Peristiwa ini menunjukkan kerentanannya kawasan dengan lereng curam, daerah yang mengalami alih fungsi lahan, serta zona tektonik aktif dengan kondisi geologi yang rapuh," ujar Dwikorita, seperti dilansir dari laman UGM, Jumat (5/12/2025).
Dwikorita menambahkan, aliran debris, campuran lumpur, batu, kayu, dan sedimen dapat bergerak dengan kecepatan tinggi saat hujan ekstrem mengguyur kawasan pegunungan.
Material ini dapat menghantam permukiman dan infrastruktur dalam hitungan detik, sehingga masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan tebing perlu mendapatkan peringatan dini dan meningkatkan kewaspadaan.
Ia menekankan, Peringatan Dini yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) perlu diikuti dengan penguatan kapasitas masyarakat agar dapat merespons secara cepat dan tepat.
Baca Juga: BNPB Laporkan 921 Korban Jiwa Banjir Sumatra-Aceh, Ribuan Mengungsi
"Aliran debris sangat destruktif dan membutuhkan respons segera dari warga yang berada di zona rawan," kata Dwikorita.
Menurut data BMKG, bibit siklon tropis diperkirakan akan meningkat setiap Desember hingga Maret atau April tahun berikutnya, terutama di belahan selatan Bumi. Oleh karena itu, wilayah selatan khatulistiwa, termasuk Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tenggara, Maluku, serta Papua bagian selatan, perlu berada dalam kondisi siaga terhadap cuaca ekstrem.
"Wilayah-wilayah tersebut seharusnya sudah bersiaga terhadap cuaca ekstrem, sebagaimana yang baru saja terjadi di Sumatera," tuturnya.
Untuk meminimalisir risiko, Dwikorita menekankan pentingnya upaya cepat di daerah-daerah rawan bencana. Pemerintah daerah harus melakukan identifikasi ulang zona rawan bencana dan pembatasan aktivitas manusia selama periode peringatan dini.
Penyiapan jalur evakuasi dan lokasi pengungsian yang aman, terutama bagi kelompok rentan seperti difabel, lansia, ibu hamil, dan anak-anak, juga sangat krusial.
"Langkah-langkah ini harus segera dilakukan di wilayah yang sudah ditetapkan dalam peringatan dini BMKG," kata Dwikorita.
Baca Juga: Bahlil Pastikan Seluruh Listrik di Aceh Akan Menyala 100% Mulai Besok
Selain itu, pemerintah daerah diminta memastikan kesiapan rencana kontinjensi untuk menghadapi kondisi darurat, termasuk penyediaan logistik untuk tiga hingga enam hari, fasilitas pertolongan pertama, pengamanan dokumen penting warga, serta penguatan jaringan komunikasi.
Ketersediaan peralatan evakuasi dan alat berat juga sangat penting untuk mempercepat penanganan darurat di lapangan. "Semua sarana ini harus siap agar respons bisa dilakukan tanpa hambatan," imbuh dia.
Dikatakan, koordinasi lintas instansi sangat penting dalam memperkuat kesiapsiagaan. Integrasi dengan BMKG dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) termasuk dalam kemungkinan pelaksanaan operasi modifikasi cuaca, apabila diperlukan, untuk mengurangi intensitas hujan di wilayah kritis.
"Koordinasi yang kuat memungkinkan langkah-langkah pengurangan risiko berjalan lebih efektif," tambahnya.
Ia menegaskan, bencana di Sumatera harus dijadikan peringatan serius. Menurutnya, mitigasi bencana tidak boleh dilihat sebagai upaya sesaat, melainkan sebagai strategi jangka panjang yang berfokus pada perlindungan lingkungan. Pemulihan ekosistem, penataan ruang, dan pengendalian pemanfaatan lahan harus menjadi dasar dalam membangun ketahanan bencana.
"Mitigasi bencana harus berbasis pada pemulihan dan perlindungan lingkungan agar peradaban yang lebih baik dan berkelanjutan bisa terwujud," tandasnya.
Tonton: Menyalakan Kehidupan di Aceh
Mengakhiri pernyataannya, Dwikorita mengingatkan agar semua pihak bertindak cepat dan sinergis menghadapi potensi cuaca ekstrem dalam beberapa bulan ke depan. Ia menekankan bahwa atmosfer yang labil dapat memperburuk risiko di wilayah rawan jika tidak diantisipasi dengan baik.
"Kita harus bergerak sekarang sebelum curah hujan ekstrem memperbesar ancaman di daerah-daerah rentan hidrometeorologi," tutup Dwikorita.
Kesimpulan
Pesan utama Dwikorita menyoroti bahwa puncak musim hujan 2025–2026 berpotensi memicu bencana hidrometeorologi di berbagai daerah, terutama kawasan dengan lereng curam, alih fungsi lahan, dan geologi rapuh. Risiko meningkat karena tingginya curah hujan, potensi aliran debris, dan kemungkinan terbentuknya bibit siklon tropis.
Ia menekankan bahwa mitigasi tidak boleh reaktif atau sekadar respons cepat; yang dibutuhkan adalah strategi jangka panjang berbasis perlindungan lingkungan, penataan ruang, kesiapan logistik, hingga edukasi masyarakat. Koordinasi lintas instansi, kesiapan alat berat, jalur evakuasi, serta rencana kontinjensi menjadi faktor penentu agar cuaca ekstrem tidak berujung pada bencana besar.
Secara logis, pernyataan ini diarahkan untuk mengantisipasi kerentanan struktural yang selama ini berulang: lemahnya tata ruang, kerusakan ekosistem, dan respons darurat yang tidak merata kapasitasnya antarwilayah.
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com berjudul "Puncak Musim Hujan 2025, Dwikorita: Jawa-Papua di Zona Siaga Banjir dan Longsor"
Selanjutnya: Stok BBM Normal Lagi, Tapi Harganya Naik: Ini Daftar Lengkap Shell, BP-AKR, Vivo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













