Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada September 2025 kembali menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha.
Meski masih berada di level ekspansif, sejumlah asosiasi menilai turunnya PMI menjadi sinyal lemahnya daya beli masyarakat sekaligus rapuhnya daya saing sektor manufaktur.
Seperti yang diketahui, Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur bulan September yang dirilis S&P Global berada di level 50,4, melambat dari 51,5 pada Agustus 2025.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Harsono Gunawan mengatakan penurunan PMI menunjukkan masih rentannya industri terhadap gejolak domestik maupun global.
Menurutnya, melemahnya daya beli masyarakat tidak hanya menjadi tekanan bagi industri, tetapi juga memunculkan kekecewaan publik terhadap elite politik dan pemerintah.
Baca Juga: PMI Manufaktur Anjlok pada September 2025, Ini Respon Kadin
"Bantuan-bantuan sosial yang digelontorkan, termasuk program populis penyerap anggaran besar, masih belum menunjukkan dampak positif terhadap meningkatnya daya beli," ujar Yustinus kepada Kontan.co.id, Rabu (10/1).
Apalagi, kata dia, banyak kejadian negatif terkait pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang minim persiapan dan pengawasan.
"Demo disertai kerusuhan tersebut setidaknya menggentarkan para pelaku ekonomi termasuk manufaktur dan investor dalam negeri dan luar negeri untuk ekspansif," katanya.
Yustinus menambahkan, faktor eksternal berupa ketidakpastian geopolitik dan geostrategi global juga kian menjauh dari solusi win-win, sehingga menekan kepercayaan industri. Namun, ia menegaskan faktor domestik seharusnya bisa lebih dikendalikan pemerintah. Salah satunya, kata dia, terkait kebijakan harga gas bumi untuk industri tertentu (HGBT).
"Sekarang pelaksanaannya hanya sekitar 60%, selebihnya harga selangit. Bukankah ini menyiratkan manufaktur berdaya saing hanya dipatok bekerja 60% dari kemampuan industri? Lah, gimana bisa berkontribusi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi 8%," kata Yustinus.
Dengan kondisi ini, Yustinus menilai prospek 2026 masih condong pesimistis.
"Singkatnya, prospek tahun 2026 masih sedikit optimis cenderung pesimis, wait and see sampai akhir 2025," pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman menyebut penurunan PMI bulan lalu dipengaruhi kontraksi di parameter produksi.
Kondisi ini, menurutnya, erat kaitannya dengan stok berlebih (over stock) serta daya beli masyarakat yang belum pulih.
"Yang bulan lalu karena parameter produksi kontraksi, karena over stock, dan masih terkait daya beli," terang Adhi.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Turun Ke Level 50,4, Ada Peluang Indeks Kontraksi Lagi
Selanjutnya: DPR Pastikan RUU BUMN Disahkan dalam Rapat Paripurna Besok Kamis (2/10)
Menarik Dibaca: 7 Zodiak yang Paling Kompetitif, Capricorn Salah Satunya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News