Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Penunjukan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya, dari Koalisi Pemantau Peradilan yang menyatakan bahwa penunjukan Prasetyo secara mendadak terasa ganjil dan sangat mengejutkan.
Bahkan, Kelompok gabungan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesian Legal Roundtable (ILR) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) tersebut mempertanyakan Nawacita dan komitmen Jokowi jika melihat rekam jejak Prasetyo dan potensi konflik kepentingan mengingat latar belakangnya sebagai politisi.
Peneliti MaPPI FHUi, Dio Ashar Wicaksana mengatakan, ada tiga alasan yang mendasari penilaian pihaknya terhadap Prasetyo. Pertama, terkait dengan jejak rekam, yang selama menjadi Jaksa, Prasetyo dinilai tidak mempunyai prestasi yang menonjol. "Bahkan beliau pernah terseret kasus korupsi penjualan kayu cendana ketika menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi NTT pada Tahun 1999-2000," kata Dio, Kamis (20/11).
Kemudian yang kedua, sebagai anggota DPR dan politisi dari Partai Nasdem kata Dio, sulit dinafikan bahwa kepentingan politik lebih dijadikan ukuran utama. Apalagi jika dihubungkan dengan kepentingan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang masih berurusan dengan Kejaksaan Agung terkait kasus kredit Bank Mandiri senilai Rp 160 miliar. Ketiga, proses penunjukan yang tidak transparan. berbeda dengan proses seleksi menteri Kabinet Kerja yang melibatkan KPK dan PPATK.
Padahal lanjut Dio, banyak sekali pekerjaan rumah Jaksa Agung yang mesti diselesaikan, seperti merevisi Peraturan Jaksa Agung (Perja) tentang Pembinaan Karier Kejaksaan guna memperkecil subjektivitas dalam mutasi-promosi, upaya pendisiplinan pegawai terkait dengan banyaknya Jaksa yang melanggar etik dan bahkan terlibat kasus korupsi, menindaklanjuti perkara-perkara yang mandek, terutama di kasus-kasus korupsi dan penuntasan kasus HAM masa lalu, dan menjamin keterbukaan informasi di Kejaksaan.
"Berangkat dari beberapa catatan itu, kami menolak pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang baru," kata salah satu peneliti ILR, Erwin Natosmal Oemar. Menurutnya, penunjukan Prasetyo yang merupakan seorang politisi berpotensi menumpukan integritas dan independensi Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegakan hukum.
Padahal kata Erwin, seorang Jaksa Agung harus mandiri dalam menegakkan hukum dan tidak boleh diintervensi oleh kepentingan bisnis ataupun politik. Terpilihnya Prasetyo juga dinilai lebih condong untuk memenuhi hasrat kepentingan politik pihak tertentu daripada untuk mereformasi Kejaksaan sebagai yang dijanjikan Jokowi dalam Nawacitanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News